Pemilik Warung Makan dan IRT Keluhkan Harga Cabai di Nunukan Melonjak Rp 220 Ribu/Kg

Pedagang cabai di pasar tradisionil di Nunukan. (Foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Harga cabai segar di pasar tradisional Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, mengalami lonjakan cukup tinggi dari harga normal Rp 50 sampai Rp 80 ribu per kilogram, naik jadi Rp 150  ribu, dan seminggu ini melonjak hingga Rp 220 ribu. Lonjakan harga ini disebabkan minimnya stok dan tidak masuknya kapal dari Parepare, Sulsel membawa cabai ke Nunukan.

Mahalnya harga cabai dikeluhkan pedagang kuliner, terutama warung makan yang menjual masakan dengan menu utama berbahan cabai, seperti warung padang, ayam geprek hingga ayam kalasan.

“Harga di pasar bervariasi, paling murah Rp 150 untuk cabe agak layu dan harga tertinggi Rp 220 cabai segar,” kata Sumiati, pemilik warung makan di Jalan Pasar Baru, Kelurahan Nunukan Tengah, Kecamatan Nunukan, pada Niaga.Asia, Kamis (21/12/2023).

Sumiati menuturkan harga cabai di pasar tergantung dari kualitas dan asalnya, lokal, Sulawesi, atau dari Tawau, Malaysia. Kenaikan harga cabai dipengaruhi oleh tidak adanya kapal dari Parepare, Sulawesi Selatan yang masuk ke pelabuhan Nunukan.

Akibat tidak adanya kapal Sulawesi, pedagang sayuran di pasar Inhutani dan Yamaker Nunukan hanya mendapatkan cabai lokal Nunukan dan cabai yang didatangkan dari Tawau, Sabah, Malaysia.

“Mungkin modal beli cabai di petani tinggi, jadi pedagang sayuran menaikan harga cabai, apalagi stok cabai lokal terbatas,” sebutnya.

Kenaikan harga cabai bukanlah hal baru di pasar Nunukan, tiap jelang lebaran dan Natal selalu naik, karena minimnya stok. Bahkan cabai dengan kualitas rendah karena layu mengering tetap laris terjual.

Kenaikan harga melebihi 100 persen dari harga normal ini tidak hanya dikeluhkan pengusaha warung makan, tapi juga Ibu Rumah Tangga (IRT) sebab, harga jual makanan tidak mengalami kenaikan, sedangkan harga bahan melambung tinggi.

“Kami pengusaha warung setiap hari membutuhkan cabai terpaksa membeli, tapi konsumen warung pasti mengeluh kalau harga makanan naik,” ucapnya.

Sumiati mengaku tetap membuka warung makanan meski harga cabai melonjak. Ditengah kegalauan kenaikan harga ini,  tetap membiarkan harga makanan di warungnya dijual seperti harga sebelumnya.

Menurutnya, pelanggan atau konsumen adalah tamu istimewa yang harus dilayani seusai pesanannya dan  tidak peduli seberapa banyak cabai dipakai. Warung tetap melayani selama di pasar masih ada cabai dijual.

“Menu makanan di warung kami kebanyakan menggunakan cabai, jadi tidak mungkin pelanggan pesan nasi lalap atau ayam kalasan tanpa sambal lombok,” tuturnya.

Salah seorang pedagang cabai di pasar sentral Inhutani Nunukan, Samsul membenarkan adanya kenaikan harga jelang Natal dan tahun baru, terutama cabai lokal Nunukan yang kualitas lebih baik dari cabai Sulawesi.

“Saya jual cabai bervariasi, harga cabai Sulawesi tanpa tangkai (sudah dipetik) Rp 180 ribu, cabai masih pakai tangkai Rp 150 ribu,” terangnya.

Kenaikan harga cabai di pasar Nunukan tidak lepas dari minimnya pengawasan pemerintah daerah terhadap pasar. Kenaikan harga juga dihubungkan dengan tingginya biaya transportasi kirim dari Sulawesi menuju Nunukan.

Selain minimnya pengawasan pemerintah, Samsul menuding kenaikan harga-harga barang dipengaruhi oleh naiknya ongkos mendatangkan cabai dari Sulawesi.

“Harga tiket naik, harga kirim barang naik, pajak retribusi naik, kenaikan semua ini berpengaruh terhadap barang yang pada akhirnya merugikan rakyat,” tutupnya.

 Penulis : Budi Anshori | Editor : Intoniswan

Tag: