Penambangan di Bibir Pantai Dilarang, Harga Pasir di Sebatik Naik Rp1,9 Juta/Truk

Penambangan pasir laut di pesisir pantai Sebatik (Foto : Budi Anshori/Niaga Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Kehilangan pekerjaan dan penghasilan menjadi konsekuensi dari penutupan tambang pasir laut ilegal di pantai pulau Sebatik. Namun dibalik itu, ada hal paling berat dirasakan masyarakat yakni kelangkaan dan tingginya jual harga pasir.

“Satu sisi kita tidak menginginkan merusak lingkungan, tapi dilain sisi keberadaan pasir mulai langka di Sebatik,” kata salah seorang warga Sebatik, Sultan, kepada Niaga Asia, Jumat (18/6).

Pascalarangan dan dihentikannya aktivitas penambangan pasir laut, warga kesulitan mendapatkan pasir. Kalaupun ada yang menjualnya, harganya sangat mahal lantaran pasir didatangkan dari Palu, Sulawesi Tengah, menggunakan kapal tongkang.

Saat ini, harga pasir Palu di tempat penjualan material bangunan sekitar Rp 1,9 juta per truk. Harga itu jauh lebih tinggi dibandingkan pasir hasil penambangan warga di pesisir pantai sekitar Rp 600 ribu sampai Rp 700 ribu.

“Mau beli pasir Palu mahal tidak terjangkau. Mau beli pasir sebatik dilarang dijual. Disparitas perbedaan harga ini sangat membebani kita,” ujarnya.

Harga jual pasir di pulau Sebatik jauh dibandingkan dengan Pulau Nunukan yang dijual sekitar Rp 600 ribu. Nunukan memiliki alternatif pilihan pasir gunung yang bisa digunakan untuk material bangunan.

Berbeda dengan Sebatik, sangat sulit mencari pasir gunung. Kalaupun ada pasti sedikit sekali. Sedangkan kebutuhan pembangunan terus meningkat. Baik milik pribadi ataupun pekerjaan proyek pemerintah.

“Ada pasir di Nunukan, tapi terkendala kapal LCT (Landing Craft Tank) untuk mengangkutnya. Kalaupun bisa pasti mahal juga kan,” sebutnya.

Sultan terhadap, pemerintah bisa mencarikan solusi tepat dan cepat mengatasi kelangkaan pasir di Sebatik. Opsi mendatangkan pasir Nunukan menggunakan transportasi kendaraan truk tidak memungkinkan.

“Kapal ferry Nunukan – Sebatik tidak mengangkut kendaraan truk. Bagaimana bisa kami beli pasir di Nunukan?” terangnya.

Selain meminta solusi, masyarakat Sebatik mempertanyakan benar tidaknya abrasi bibir pantai disebabkan kegiatan penambangan ilegal. Menurutnya, perlu ada kajian dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Nunukan untuk memastikan itu.

“Masyarakat minta ada kajian menyatakan abrasi akibat penambangan pasir. Kalau kajiannya benar merusak, pemerintah carikan solusinya agar harga pasir tidak mencekik,” ucapnya lagi.

Kepala Bidang Penataan Hukum dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Nunukan Ahmad Musafar mengatakan, keputusan pemerintah sudah bulat menutup tambang pasir ilegal.

“Penambangan pasir sudah bertahun-tahun dan warga sudah berjanji apabila ada dampak kerusakan mereka akan berhenti,” tuturnya.

Dia menerangkan, pemerintah di tahun-tahun sebelumnya memberikan kesempatan masyarakat menambang pasir. Namun demikian, pengambilan pasir sebatas kebutuhan sendiri, bukan untuk bisnis menguntungkan.

Penghentian penambangan pasir di Sebatik tetap ada solusinya. Sebab tidak mungkin pengusaha material di sana tidak mendatangkan pasir dari Palu atau Nunukan. Hanya saja tentu memiliki perbandingan harga.

“Waktu kami survey ada pohon ulin di laut, posisi pohon sekitar 70 meter dari bibir pantai. Artinya, dulunya mungkin pohon ulin ini berada di pinggir daratan,” tutup Musafar.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau

Tag: