Pengalaman Spiritual Adi

Cerpen Karya: Efrinaldi

Ilustrasi. (Foto HO/NET)

Saat usianya 52 tahun Adi telah mencapai puncak karirnya. Dia baru saja menyelesaikan pengembangan bisnis baru berupa unit bisnis produk biologis terbesar di Asia Tenggara yang merupakan joint venture dengan perusahaan Australia.

Setelah itu timbullah niatnya mengunjungi tanah suci Mekah dan Madinah. Dia telah mendaftar naik haji jauh-jauh hari, namun baru dapat jadwal keberangkatan dua tahun lagi. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk pergi umrah.

Adi pergi sendiri, tanpa didampingi istrinya. Mereka tidak bisa pergi berdua karena khawatir meninggalkan anak-anak mereka di tanah air.

Adi pergi memakai travel umrah milik keluarga besarnya. Dia mendapat kesempatan sekamar dengan pembimbing pendamping umrah ketika menginap selama di tanah suci.  Keistimewaan ini menimbulkan rasa sombong dalam diri Adi. Ini mungkin terbaca oleh pembimbing utama umrah.

Entah disengaja atau tidak pembimbing utama sering memandang biasa-biasa Adi seperti jamaah lainnya. Bahkan sering Adi merasa tersindir dengan sikapnya yang cenderung menekannya.

Beberapa kali Adi bertanya sewaktu penjelasan pelaksanaan umrah, tetapi dijawab ketus oleh pembimbing utama. Sampai suatu malam Adi merenung dan membatin, Apakah ini orang yang sengaja didatangkan untukku untuk mengikis kesombonganku?

Adi berusaha sabar dan menekan rasa jengkelnya itu. Setiap muncul rasa tidak enak, Adi segera menarik nafas dan memohon kesabaran pada Allah. Sampai suatu ketika kesabaran Adi hampir tak terbendung ketika ada jamaah menegurnya dengan keras ketika dia merokok di sela-sela kegiatan umrah.

“Bapak mencintai Rasulullah?, katanya

Adi terkejut mendengar pertanyaannya. Adi merasa itu tudingan bahwa dia tidak mencintai Rasulullah. Adi bertanya balik,

“Apa maksud Bapak?” tanya Adi sengit.

“Bapak merokok, pada hal itu bertentangan dengan agama yang dibawa Rasulullah!” katanya tidak kalau sengit.

Adi menenangkan diri. Kemudian dia berkata; “Ya, saya mencintai Rasulullah dan tunduk pada ajaran agama yang dibawanya. Tetapi menurut keyakinan saya merokok hanyalah berhukum makruh.”

“Tidak! Merokok itu haram hukumnya!” kata orang itu tetap dengan nada tinggi.

Adi kemudian ditarik pembimbing pendamping umrah. Setelah menjauh dari orang tadi, pembimbing pendamping berkata; “Orang itu maksudnya baik, menganjurkan meninggalkan yang mudharat. Namun cara berdakwahnya tidak tepat.”

Adi kemudian menjadi lebih tenang. Adi tetap saja pada pendapatnya bahwa merokok itu makruh hukumnya.

*

Ketika berdoa khusuk di raudhah di Masjid Nabawi, Adi mengingat dosa-dosanya. Terputar sejumlah kemaksiatan yang pernah dilakukan Adi selama ini. Adi memohon ampun pada Allah. Adi menghiba-hiba memohon pengampunan dan sangat takut akan dosa yang tak terampuni.

Adi menangis sejadi-jadinya sampai dia merasakan seolah-olah Allah telah mendengar tobatnya. Adi kemudian salat sunat dua rakaat dan dilanjutkan doa yang singkat saja. Memohon keselamatan dunia dan akhirat. Adi kembali ke hotel dengan mata yang sembab.

Ketika berada di depan ka’bah setelah melakukan tawaf, Adi memohon pengampunan Allah lagi. Adi merasakan bahwa dia berada di tempat mustajab di tempat Allah demikian dekat. Adi mengadu pada Maha Pengampun untuk pengampunan.

Ada beberapa yang dirasakan Adi, yaitu pertama sikap sombongnya selama ini, kedua kelalaiannya dalam menegakkan salat dengan khusuk, dan ketiga dirinya dipenuhi hasrat mengalahkan orang lain secara berlebih-lebihan.

Adi kemudian menjadi lega. Beban yang menyesakkan dada terasa lepas. Di hotel pembimbing utama menyapa Adi; “Assalamu alaikum, Bapak!”

“Waalaikumussalam, Ustadz,” jawab Adi.

Pembimbing utama tersenyum ramah pada Adi. Adi merasakan ada perubahan dari cara pembimbing utama berucap dan caranya tersenyum.

Adi berpikir, mungkin dosa-dosaku telah tercabut sehingga wajahku terlihat lebih berseri dilihat pembimbing utama.

Adi tidak berusaha mencari tahu apa yang ada  dalam pikiran pembimbing utama itu. Namun, ada debaran jantung lebih nyaman dirasakan oleh Adi sejak pertobatan di depan ka’bah tadi dan ditambah kenyamanan bertegur sapa dengan Sang Pembimbing Utama.

*

Sewaktu hendak kembali ke tanah air, rombongan mereka naik bus ke bandara King Abdul Aziz di Jeddah. Setiba di bandara, Adi hendak memberi uang tip pada petugas lokal umrah sejumlah Rp200.000. Namun ditolak oleh petugas itu. Adi kembali terperanjat atas kejadian itu.

Adi memasukkan kembali uangnya ke sakunya, dan menyalami petugas itu dan mengucapkan terima kasih dengan cara santun. Itulah pelajaran terakhir bagi Adi dalam perjalanan umrah itu, bahwa tidak selamanya uang di atas segalanya. Subhanallah!

Tag: