Penghentian Perluasan Wilayah Produksi Pertambangan Batubara Seharusnya Jadi Bagian Post-2020 GBD

Kerusakan lingkungan akibat pertambangan batubara di Kalimantan. (Foto Jatam)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA– Indonesia dapat berkontribusi bagi inisiatif penyelamatan keragaman hayati global ini dengan penghentian perluasan wilayah produksi pertambangan dan pencabutan izin pertambangan yang masih eksplorasi dan aktivitas pertambangan batubara yang besar di Pulau Kalimantan merusak kondisi keanekaragaman hayati.

Dari itu The Convention on Biological Diversity (CBD) yang  tengah mempersiapkan The-Post 2020 Global Biodiversity Framework (GBD) seharusnya memasukkan  penghentian perluasan wilayah produksi pertambangan batubara seharusnya  jadi bagian dari program Post-2020 GBD, agar target kerangka kerja yang tengah dirancang itu dapat tercapai pada tahun 2050 dengan milestones pada tahun 2030.

“Perlu diketahui, kerangka kerja The-Post 2020 Global Biodiversity Framework (GBD) ini melanjutkan Aichi Biodiversity Targets yang sudah dirancang pada dekade sebelumnya , tapi tidak mencapai target secara global dalam penyelamatan keragaman hayati,” kata aktivis lingkungan, masing-masing, Muhammad Iqbal Patiroi, Koordinator Program Iklim & Keanekaragaman Hayati Perkumpulan AEER, Pradarma Rupang, Dinamisator Jatam Kalimatan Timur, dan Ali Akbar, Direktur Eksekutif Kanopi Hijau Indonesia, dalam keterangan  persnya yang diterima Niaga.Asia, Selasa (15/3/2022).

Diterangkan ketiga organisasi lingkungan tersebut, aktivitas pertambangan seperti pembersihan lahan, penggalian top soil¸serta pengangkatan overburden memberikan dampak buruk pada skala bentang lahan serta mengganggu proses-proses ekologis yang terjadi di sekitar kawasan.

“Perusakan proses ekologis berpotensi mengurangi habitat kehidupan liar serta mengurangi keanekaragaman hayati kawasan setempat,” ungkapnya.

Berdasarkan kajian Perkumpulan AEER menggunakan data keanekaragaman hayati Pulau Kalimantan serta data aktivitas pertambangan di Pulau Kalimantan, didapatkan bahwa aktivitas pertambangan di Pulau Kalimantan memberikan ancaman signifikan pada keanekaragaman hayati.

Berbagai spesies yang dilindungi – baik menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) atau menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) – terancam akibat aktivitas pertambangan yang dilakukan di sekitar habitat kehidupan liar.

Selain itu, berbagai ekosistem yang memiliki peran penting sebagai habitat kehidupan liar – seperti hutan lahan kering serta hutan mangrove – terancam mengalami degradasi akibat aktivitas tambang di sekitar ekosistem tersebut.

“Hal tersebut terjadi karena lokasi aktivitas pertambangan yang berdekatan dengan keberadaan spesies-spesies dilindungi dan ekosistem penting yang mendukung kehidupan liar serta manusia yang ada di sekitarnya,” ujar ketiga aktivis lingkungan tersebut.

Beberapa spesies penting yang terdampak akibat aktivitas pertambangan di Kalimantan antara lain Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan), Sphyrna lewini (Hiu kepala martil), Helarctos malayanus (Beruang madu), serta Nasalis larvatus (Bekantan).

Pradarma Rupang, Dinamisator Jatam Kalimatan Timur menambahkan, pertambangan merusak keanekaragaman hayati melalui degradasi serta pengurangan habitat kehidupan liar. Transisi energi dari penggunaan batubara menuju energi bersih serta ramah lingkungan akan menghentikan aktivitas pertambangan batubara, konversi lahan dan perubahan iklim global dapat diperlambat.

“Keanekaragaman hayati, serta manfaat yang diberikan olehnya akan menyediakan berbagai jasa ekosistem (ecosystem services) yang sangat bermanfaat bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Akan tetapi, degradasi habitat serta kepunahan yang mengancam keanekaragaman hayati global akan terus terjadi jika produksi batubara tidak dikurangi,” kata Rupang menjelaskan.

Muhammad Iqbal Patiroi, Koordinator Program Iklim dan Keanekaragaman Hayati Perkumpulan AEER, menyatakan,  laju kepunahan hayati global meningkat sebesar seribu kali lipat dibandingkan dengan catatan fosil yang tersedia dan dapat meningkat hingga sepuluh kali lipat lagi di masa mendatang salah satunya karena kegiatan penambangan batubara.

Penilaian dari IPBES ( Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services)  pada tahun 2021 bahwa  setidaknya 75% dari luas lahan dunia telah berubah secara signifikan dan 35% dari spesies dunia mengalami ancaman kepunahan juga tercermin di dalam keadaan keragaman hayati Pulau Kalimantan.

Ali Akbar, Ketua Badan Eksekutif Kanopi Hijau Indonesia menyatakan, komunitas global seharusnya mengambil langkah untuk menghentikan ancaman kepunahan yang sudah terjadi secara global.

“Aichi Biodiversity Targets yang sudah disepakati tahun 2011 dan berlaku hingga tahun 2020 telah gagal mendorong masyarakat global untuk memperlambat laju penurunan keanekaragaman hayati global,” ujarnya.

Menurut Ali Akbar, dibutuhkan kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati baru untuk meneruskan semangat konservasi yang telah diusung melalui Aichi Biodiversity Targets dengan tetap mempertimbangkan hasil serta kekurangan pada framework sebelumnya.

“Dengan perbaikan pada rancangan kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati yang baru, diharapkan masyarakat global serta pembuat kebijakan mampu memenuhi komitmen yang akan disepakati bersama. Penghentian perluasan wilayah produksi tambang batubara penting menjadi strategi utama,” pungkasnya.

Sumber : Perkumpulan AEER, Jatam Kaltim, Kanopi Hijau Indonesia | Editor : Intoniswan

Tag: