SAMARINDA.NIAGA.ASIA — Fenomena pernikahan dini kembali mencuat di Kota Samarinda. Sebanyak 125 remaja telah mengajukan dispensasi untuk menikah sepanjang tahun 2024 ini.
Hal tersebut disampaikan Forum Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Wati (Forhati) Samarinda, saat dengar pendapat bersama Komisi IV DPRD Samarinda di Ruang Utama Lantai 2 DPRD Samarinda, Selasa 24 Desember 2024.
Presidium Forhati Samarinda Warkhatun Najidah menyebutkan, berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2PA) Samarinda hingga November 2024 tercatat sebanyak 125 pemohon di Samarinda, meminta dispensasi menikah untuk melakukan pernikahan di bawah tangan.
Dispensasi nikah ini merupakan pemberian izin kawin dari pengadilan agama untuk melangsungkan pernikahan bagi calon suami atau istri yang belum berusia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
“Pengadilan agama mencatat sekitar 30.000 kasus pernikahan dini sejak 2023 hingga 2024, hal ini menunjukan perlunya pengawasan ketat dari DPRD Samarinda,” kata Najidah.
Melihat tingginya angka pernikahan dini di bawah tangan ini, Forhati Samarinda bersama DPRD mendorong edukasi kepada remaja putri melalui kurikulum pembelajaran di sekolah.
“Edukasi terkait pernikahan dini di bawah tangan ini penting, agar remaja menjadi tahu dampak dari pernikahan dini di bawah umur,” ujar Najidah.
Menurut Najidah, beberapa dampak pernikahan dini di bawah tangan ini dapat mengakibatkan siklus kemiskinan karena perekonomian yang belum stabil.
“Selain itu pernikahan dini juga dapat mengakibatkan psikologi dari anak terguncang. Kita harus meminimalisir pernikahan di bawah tangan ini. Mungkin di mata agama sah saja, namun di mata negara belum tentu diakui,” jelasnya.
Penyebab pernikahan dini di bawah tangan ini pun bermacam-macam. Salah satunya pergaulan bebas yang mengakibatkan hamil di luar nikah yang menjadi alasan
terbesar permohonan dispensasi nikah.
Kondisi semacam ini pun sering kali menimbulkan perbincangan bagi keluarga, sehingga harus segera diperbaiki dengan menikahkan si anak dengan pacarnya.
Kemudian faktor ekonomi, di mana kondisi ekonomi masyarakat yang lemah menyebabkan orang tua tidak bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Untuk meringankan beban keluarga, maka orang tua lebih memilih menikahkan anaknya dengan orang yang dianggap mampu agar beban hidupnya berkurang.
“Sebenarnya banyak kasus yang menjadi penyebab termasuk persoalan bisnis, seperti seorang pengusaha terlilit hutang dengan pengusaha lain. Terkadang anak yang umurnya belum cukup dikorbankan untuk dinikahkan dengan pihak pengusaha bersangkutan,” terang Najidah.
Menanggapi itu, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda Sri Puji Astuti mengatakan bahwa DPRD Samarinda telah menggodok rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang pembangunan ketahanan keluarga untuk menekan tingginya angka pernikahan usia dini di kota Samarinda.
“Kita sudah kerjakan selama 6 bulan dan kita sosialisasikan melalui sosialisasi peraturan daerah (Sosper) ke masyarakat,” katanya.
Ranperda ini tentunya telah dilakukan uji publik bersama masyarakat dan akademisi perguruan tinggi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.
“Kita sebagai ibu kota dari Provinsi Kaltim harus dapat mengatasi permasalahan sosial, termasuk pernikahan dini. Pernikahan dini ini disebabkan oleh berbagai faktor termasuk tekanan ekonomi dan budaya,” jelasnya.
Politikus Demokrat ini juga mencatat 79 anak yang menikah dini dan putus sekolah di Samarinda, diusahakan untuk mengikuti Paket C.
“Namun sayangnya hanya laki-laki yang sudah menikah saja yang antusias mengambil pendidikan paket C ini,” ujarnya.
Sri juga mengingatkan bahwa program pencegahan pernikahan dini ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, melainkan tanggung jawab bersama termasuk masyarakat.
“Masyarakat dan akademisi juga perlu bekerja sama untuk memastikan generasi muda tumbuh dengan pendidikan yang memadai,” demikian Sri Puji Astuti.
Penulis: Nur Asih Damayanti | Editor: Saud Rosadi
Tag: DPRD SamarindaPernikahan AnakSamarindaSosial