Cerpen Karya: Efrinaldi

Ketika Adi masih bekerja sebagai karyawan, Adi memerlukan pembantu mengurus pekerjaan rumah. Istrinya yang dosen memerlukan supir pribadi untuk mengantarnya ke kampus dan urusan lainnya. Anak-anaknya diantar oleh mobil dengan sopir pribadi. Sementara Adi menyetir sendiri. Dia membutuhkan tiga mobil dan dua sopir pribadi, seorang pembantu rumah tangga.
Adi kalah soal orang yang membantunya dibandingkan Boss-nya. Bossnya punya satpam di rumah pribadinya, ada tukang kebun selain tukang masak. Dia juga punya baby sitter dan perawat yang merawat ibunya yang sudah lumpuh. Untuk membiayai kehidupan seperti itu Adi memerlukan uang Rp 25 juta per bulan. Sementara Boss-nya memerlukan uang Rp 50 juta per bulan.
Sementara aku, yang kini telah lima tahun pensiun di kampung halaman, tidak punya pembantu rumah tangga, tidak punya tukang kebun, tidak punya sopir, tidak punya satpam, tidak punya baby sitter maupun perawat. Aku hidup bersama istriku dan seorang anak laki-laki berusia 25 tahun berkebutuhan khusus.
Kami hanya hidup bertiga di rumah. Kami menjaga rumah, memasak, mencuci, merawat taman dan tidak lagi punya orang tua yang harus dirawat atau pun bayi yang harus dijaga. Kami hidup di lingkungan orang sesuku sehingga kami tidak memerlukan satpam untuk pengamanan rumah.
Kami menanam sayur-myur, buah-buahan, dan tanaman bumbu yang bisa dikonsumsi dan sebagian dijual. Kami juga memelihara ikan untuk kami konsumsi dan sebagian dijual.di pekarangan rumah Kami belanja di pasar tradisional, sehingga didapat barang yang murah.
Kami memang masih memerlukan pasar modern atau toko untuk membeli sebagian kebutuhan seperti alat elektronik dan pakaian. Kami memanfaatkan BPJS Kesehatan untuk pengobatan sehingga terhindar dari resiko biaya besar kalau sakit. Kami memiliki sepeda motor selain mobil. Sehingga kami bisa irit bahan bakar minyak dengan tidak selalu memakai mobil bepergian.
Dengan kehidupan demikian, maka pengeluaran kami sebulan hanya sekitar Rp 3-4 juta. Bandingkan dengan Adi yang Rp 25 juta dan Boss Adi yang Rp 50 juta. Memang hidup di jalur cepat memerlukan biaya tinggi. Aku pun dulu sewaktu bekerja di kota Bandung juga memerlukan biaya hidup Rp 15 juta sebulan.
Kini setelah pensiun, aku menjalani kehidupan jalur lambat (“slow living”). Cocoklah dengan usiaku yang sudah menua juga.
Untuk menjaga kesehatan, aku mengaktifkan anggota tubuhnya dengan berkebun, mengerjakan pekerjaan rumah tangga membantu istri dan mengemudi sepeda motor dan mobil. Aku juga makan seimbang, tidak berlebihan makan karbohidrat dan tidak melupakan makan sayur-sayuran dan buah-buahan setiap hari.
Dalam kehidupan sosial kami juga tidak terlampau memasuki urusan orang lain, namun tetap peduli dengan lingkungan. Istriku aktif di paguyuban ibu-ibu “Bundo Kanduang” dan aku aktif di Paguyuban Teman Sekolah dan sahabat sesama ke masjid yang sama. Kami datang ke pesta undangan kalau diundang dan kami dating bila ada kemalangan orang, seperti menjenguk orang sakit atau orang meninggal.
Namun di keluarga besar, sebagai orang yang dituakan aku menyandang jabatan Wakil Kepala Suku (Panungkek Datuak Majo Sindo). Peran itu sebagai pengayom suku dan menyelesaikan masalah yang timbul dalam suku. .
Ya, kini aku menjalani pola hidup sederhana. Tidaklah salah, bahkan Nabi Muhammad saw. Pun menjalani hidup sederhana setelah menjadi nabi/ rasul. Meskipun baginda sempat menjadi saudagar kaya di masa mudanya.
Mas kawin Nabi Muhammad SAW pada istri pertamanya adalah 40 ekor unta. Nabi Muhammad memang diutus untuk umat akhir zaman, di mana keselamatan dunia dan akhirat tidak terkait dengan seberapa besar kekayaan seseorang. Semua orang berkesempatan hidup bahagia dan masuk surga, Insya Allah!
Tag: Cerpen