Rumitnya Persoalan BUMD MBS di KEK Maloy

Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim Baharuddin Demmu. (Foto : Niaga Asia)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Maloy di Kabupaten Kutai Timur (Kutim), yang digagas beberapa tahun lalu hingga sekarang belum juga difungsikan. Hal itulah yang menjadi pembahasan utama dala rapat dengar pendapat (RDP) yang diselenggarakan Komisi II DPRD Kaltim bersama BUMD Melati Bhakti Satya (MBS), Selasa (4/2).

Kawasan yang digadang-gadang menjadi kawasan industri maju, sekaligus pelabuhan bertaraf internasional di Kaltim tersebut mulai dibangun sejak tahun 2012. Namun, karena belum memadainya fasilitas dasar seperti listrik, air bersih dan jalan, menjadi kendala investor untuk masuk.

Dalam RDP itu, dihadirkan direksi dari 3 anak perusahaan di bawah BUMD MBS, yang berkecimpung di dalamnya. Yakni, PT Maloy Batuta Trans Kaltim, PT Kaltim Kawasan Industri Maloy dan PT Kaltim Pelabuhan International Maloy.

Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim Baharuddin Demmu mengungkapkan beberapa alasan tersebutlah yang menjadikan kawasan KEK Maloy minim peminat. Apalagi, selain fasilitas penunjang yang tidak lengkap, jarak yang cukup jauh juga tak diimbangi dengan akses yang baik.

“Pemerintah terlalu cepat menginvestasikan anggaran di sana. Tapi fasilitasnya juga belum ada. Sehingga itu yang membuat banyak investor tidak mau,” ungkap Demmu usai rapat yang digelar bertempat di Gedung E Komplek Kantor DPRD Kaltim, Karang Paci.

Setidaknya, Pemprov Kaltim telah mengalokasikan Rp800 miliar, ke anak perusahaan BUMD MBS, untuk memenuhi fasilitas standar investasi. Namun demikian sampai saat ini belum terealisasi.

Demmu menerangkan, pihaknya juga tengah menunggu penyampai laporan data menyeluruh terkait investasi baik dari APBD maupun APBN, yang telah masuk dalam lahan seluas 509,34 hektare itu.

Terkait anak perusahaan tersebut, Komisi II turut mempertanyakan secara tegas kendala yang dihadapi hingga belum beroperasinya kawasan tersebut. Belakangan diketahui, sejak tahun 2016, Direktur 2 dari tiga anak perusahaan tersebut sudah tidak ada, dan diambilalih langsung oleh Direktur Utama MBS Agus Dwitarto.

“Mereka mengatakan, sudah meminta ke Pak Gubernur (Awang Faroek kala itu). Tapi tidak ada respons. Minta agar dia (Agus) tidak menjadi direktur di situ (dua anak perusahaan MBS), karena double. Nah, dalam perjalanannya, dua anak perusahaan ini tidak berkembang,” ungkapnya.

Lebih lanjut, pihaknya sementara ini memberikan opsi, diantaranya melanjutkan KEK Maloy seperti rencana awal. Hanya saja pemerintah perlu memberikan suntikan anggaran untuk memenuhi fasilitas. Atau, kalau tidak, ditutup sekaligus.

“Hanya, yang ini sulit dipahami, karena ini juga berliku-liku. Banyak sekali masalahnya. Itu juga masih bercabang-cabang,” tandasnya.

Kendati demikian, pihaknya akan terus mendalami permasalah KEK Maloy yang ditangani BUMD MBS. DPRD juga tengah merumuskan untuk mengeluarkan rekomendasi pada 28 Februari 2020 mendatang. (009)