Cerpen Karya: Efrinaldi

Pagi itu aku ikut senam zumba di kantorku. Pemandu senam zumba bernama Alvin. Dia pelatih kesohor di Kota Bandung. Badannya atletis, ramah, santun, dan memiliki bahasa tubuh yang bagus. Alvin menciptakan koreografi senam zumba yang indah dan berkandungan latihan aerobik yang pas. Sebagai pemandu senam zumba, dia dibayar dengan honor Rp400.000 per sesi senam berdurasi enam puluh menit. Alvin melatih dirinya terus-menerus. Dia belajar senam zumba sampai ke Brazil.
Senam sore ini diikuti oleh sekitar dua puluh lima orang. Kebanyakan wanita. Hanya aku dan tiga orang lagi yang pria. Lokasinya adalah di halaman belakang gedung Riset & Pengembangan Kimia Farma Bandung, tempatku bekerja.
Seperti biasa, aku berada di barisan terdepan kelompok senam zumba. Di samping kiriku Rika dan di samping kananku Nina. Kami bertiga termasuk jagonya senam zumba di group kami. Nina mengenakan baju kaos lengan panjang berwarna orange berstrip putih di samping kiri dan kanan bajunya. Bawahannya celana kaos juga berwarna orange. Nina memakai kerudung berwarna orange muda. Sepatu yang dikenakannya sepatu kets berwarna putih.
Rika memakai baju kaos berwarna putih dengan strip merah di dadanya, memakai celana kaos berwarna putih dengan strip berwarna merah vertikal di kakinya. Rika memakai kerudung berwarna hijau lumut. Sepatunya berwarna merah.
Aku memakai baju kaos berwarna biru tua dengan tulisan RnD People di dada, celana kaos berwarna biru tua juga dengan strip kuning vertikal di kaki dan memakai sepatu berwarna abu-abu. Di kepalaku terikat bandana berwarna orange.
Senam dimulai. Aku mengikuti gerakan pemandu. Seperti biasa aku tidak berpikir banyak soal mengikuti gerakan senam itu. Aku ikuti saja dengan bebas lepas. Inilah kemajuanku, sejak istriku yang penari memberi tips agar ikuti saja gerakan dengan penghayatan. Biarkan seolah gerakan itu seperti refleks.
Dulu aku sangat serius memperhatikan gerakan pemandu. Memperhatikan gerakan tangan, kaki dan badannya dan berusaha sesempurna mungkin menirunya. Akibatnya gerakanku jadi kaku dan aku merasa sangat tersiksa untuk meniru gerakannya.
Aku ingat dulu sewaktu SMA aku mengikuti pelajaran kesenian yaitu menari tari tradisional Minangkabau. Aku berusaha mengikuti gerakan kaki, maka gerakan tangan tertinggal. Ketika aku konsentrasi ke gerakan tangan, gerakan kaki tertinggal. Aku akhirnya hanya mendapatkan nilai tujuh untuk kesenian.
Setelah mengikuti tips istriku agar mengikuti dengan penghayatan dan membiarkan gerakan seperti refleks, kemampuanku bersenam zumba melejit. Pada temu kangen alumni Farmasi ITB, aku jadi juara dua senam zumba yang dilombakan pada event itu.
Keringat bercucuran. Senam mencapai puncaknya. Kemudian dilakukan senam beritme ceria dengan lagu India. Sesi senam berlanjut dengan iringan lagu pop slow Indonesia, dan ditutup dengan penarikan nafas. Senam berakhir tepat dalam waktu enam puluh menit.
“Ayo kita foto bersama!” seru Alvin. Kami berkumpul di samping kiri dan kanan pemandu senam itu. Foto bersama dilakukan dengan bantuan pemotret seorang office boy yang berada sekitar tempat kami melakukan senam.
“Ciiis …!” seru Alvin.
Click! terdengar bunyi kamera bersamaan nyala lampu flash.
“Sekarang berfoto sambil melompat,” seru Alvin.
“Satu, dua, tiga!” seru Alvin dan melompat diikuti semua peserta senam.
Sesi berfoto usai dan peserta senam bubar. Ada yang minum air putih, ada yang berlari masuk ruangan gedung, mungkin kebelet pipis. Aku mendekati Rika.
“Ini foto pujaanku,” kata Rika padaku.
Sejak lama aku mengorek seperti apa lelaki pujaan Rika. Aku memberanikan diri bertanya pada Rika, “Seperti apa lelaki pujaanmu?”
Rika mengambil HP di saku, kemudian memperlihatkan foto seorang lelaki padaku. Kuperhatikan foto yang ada di layar HP Rika. Rupanya foto pemain sepak bola dunia terkenal yang ganteng yaitu Zidane.
“Begitu ya seleranya?” tanyaku.
“Iya,” kata Rika sambil memasukkan HP di saku celananya.
Kami berjalan memasuki gedung. Di lorong Rika bercerita, bahwa mungkin dia sulit mendapatkan jodoh karena mengharapkan lelaki seganteng dan seterkenal Zidane.
“Apakah tidak pernah bertemu lelaki yang mendekati seperti Zidane?” tanyaku penasaran.
“Pernah sekali. Dia pemain bola volley, seorang guru olah raga SMA,” cerita Rika.
“Kenapa tidak berlanjut?” tanyaku..
Rika mengangkat tanganya, sambil memutar-mutar pergelangan tangannya.
“Dia anak mami. Dia mengikuti maminya yang tidak merestui hubungan kami,” lanjut Rika.
“Masihkah ada orang tua di zaman kini mendikte jodoh anaknya?” kataku sambil terbelalak.
“Mulanya aku shock. Seolah tidak percaya apa yang terjadi. Tetapi kemudian aku bisa menerima keadaan itu. Sekarang aku telah melupakannya. Lagi pula dia telah menikah dengan wanita lain,” jelas Rika dengan santai.
Aku memperhatikan wajah Rika. Kulihat wajahnya sangat cantik. Alis matanya rapi. Matanya bulat bercahaya. Bibirnya bak limau seulas dengan polesan tipis gincu bibir.
“Kok kamu melihatku seperti itu?” tanya Rika membuatku terkesiap.
“Eh, eh … tidak apa-apa,” jawabku tergagap-gagap.
“Sudah ya, aku mau mandi dulu. Gerah!” kata Rika seperti mau menutup pembicaraan.
*
Suatu sore aku melihat Rika berlari kecil menyeberangi jalan yang tidak terlalu ramai. Dari seberang jalan, Rika melambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaian tangannya. Dia segera menuju rumah dinasnya di seberang jalan.
Aku melanjutkan perjalanan pulang. Berjalan di trotoar ke arah Timur dan kemudian berbelok ke kiri di samping klinik, sampailah aku di rumah dinasku. Lampu taman telah menyala. Aku masuk ke dalam rumah. Terang benderang lampu menyala. Kehangatan segera kurasakan dengan berkumpulnya aku dengan semua anggota keluarga.@
Tag: Cerpen