Yanti, Adik Kelasku

Cerpen Karya: Efrinaldi

Ilustrasi

Ketika aku kelas enam SD aku mulai tertarik dengan lawan jenis. Aku mulai dengar cerita teman-temanku yang perempuan telah ada yang pacaran dengan lelaki lebih tua beberapa tahun. Di sekolahku ada dua teman wanita yang menjadi buah bibir dan diperebutkan perjaka-perjaka keren di kampungku.

Aku tertarik pada Yanti (bukan nama sebenarnya), adik kelasku. Aku suka memandangi dari jauh kalau sedang keluar main. Dia suka duduk-duduk di teras sekolah. Aku biasanya jalan-jalan di halaman sekolah. Sesekali aku melirik Yanti. Namun Yanti sepertinya tidak peduli.

Yanti memang cantik. Perawakannya sedang. Kulitnya putih. Rambutnya dikepang dua. Suatu hari Yanti berjalan ke arahku. Aku deg-degan. Apa gerangan yang mau disampaikan Yanti.

“Kak, boleh pinjam siletnya?” ujar Yanti.

Aku kaget, kenapa Yanti tahu kalau aku memang suka menyimpan silet di saku bajuku. Silet itu biasanya dipakai untuk meruncing pensilku, memotong kuku atau memotong kertas.

“Oh, boleh, boleh …!” jawab agak gugup.

Aku menyerahkan silet pada Yanti. Yanti mengambilnya dan berpaling ke belakang dan pergi. Dia kemudian duduk di teras sekolah. Kulihat Yanti memotong kukunya.

*

Ketika SMP, Yanti menjadi bintang panggung di panggung seni di kampungku. Dia suka menari dan menyanyi.

Suatu malam ada acara panggung seni di kampungku. Aku menonton dengan harapan bisa melihat Yanti di atas pentas. Yanti menyanyikan lagu Selamat Datang bersama beberapa orang. Yanti berdiri di tengah di barisan depan. Aku menadangi Yanti dengan mata tak berkedip. Dalam hatiku, seandainya Yanti menjadi kekasihku, betapa bahagianya aku….

Aku puas melihat Yanti tampil beberapa kali menyanyi dan menari. Ketika pulang dan sampai di kamarku aku telentang di atas kasur. Pikiranku teringat Yanti. Serasa berputar film di benakku tentang penampilan Yanti di pentas seni.

Aku terbangun jam lima subuh. Aku mandi dan mengganti pakaianku. Hari itu hari Minggu. Aku pergi ke halaman. Terlihat bunga bougenville bermekaran. Aku menikmati keindahan bougenville itu sekarang, tidak seperti biasanya.

Aku mengambil sepeda motor di garasi. Kemudian aku berkendara ke arah jalan raya. Sampai di ujung jalan aku menoleh ke kiri dan kanan. Aku membelok ke kiri dan melaju ke arah Timur.Sekitar satu kilometer aku melihat rumah Yanti. Berharap ada Yanti sedang di halamannya. Aku pelan-pelan mengendarai sepeda motor. Mataku tertuju ke rumah Yanti. Ternyata aku tidak melihat Yanti. Aku kecewa dan segera memutar balik sepeda motorku dan kembali pulang.

Sampai rumah, aku masuk kamar. Aku berpikir bagaimana sebenarnya aku ini. Apakah aku jatuh cinta? bathinku.

*

Aku percaya bahwa aku memang jatuh cinta pada Yanti. Namun itu kupendam saja. Aku masuk SMA. Sementara Yanti masih kelas tiga SMP. Sejak aku SMA, aku masih sesekali melihat Yanti di halaman rumahnya kalau aku lewat rumahnya.

Setamat SMP, Yanti sekolah di kota Padang. Dia ingin sekolah di SMA favorit.

Setamat SMA aku kuliah di Bandung. Yanti kabarnya kuliah di Padang. Kami tidak pernah bertemu lagi.

*

Ketika aku telah berusia lima puluh tahun aku melihat profil Yanti di Facebook. Aku meminta untuk menjadi teman di FB. Yanti mengkonfirmasi permintaan pertemanan.

Setelah beberapa lama aku mengontak Yanti melalui messenger. Ternyata memang benar dia adalah Yanti adik kelasku dulu. Aku meminta No. WA-nya. Yanti memberikannya dan sejak itu kami sering kontak melalui WA.

Chatting kami mulanya biasa-biasa saja. Saling menyapa dan bertanya tentang keluarga masing-masing.

Aku telah beristri dengan dua anak. Karirku sedang di puncaknya. Uangku banyak. Sementara Yanti ternyata seorang janda ditinggal mati dengan seorang anak.

Suatu sore aku chatting dengan Yanti. Setelah berbalas Chat Yanti menulis, “Apa Kakak tidak kasihan dengans saya yang tidak bersuami?”

Aku terkejut. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah dia menginginkan aku menikahinya. Aku tidak membalas chatnya lagi. Aku takut api asmara membakar kami. Akhirnya aku memblokir No WA-nya.

*

Setelah pensiun aku bersama istriku pulang ke kampung halaman. Suatu hari aku ke rumah adikku. Aku menanyakan perihal Yanti.

“Kakak Yanti juga sudah pensiun. Dia tinggal di rumah ibunya dulu bersama suaminya,” jelas adikku.

“Bukankah dia janda?” tanyaku.

“Dulu dia menjanda. Tetapi telah menikah lagi sejak lima tahun lalu dengan seorang pensiunan guru yang ditinggal mati istrinya” jelas adikku.

Aku memejamkan mata. Aku bersyukur Yanti hidup bersama lelaki yang mencintainya.

*) Cerpen ini fiktif dan adanya kesamaan nama adalah kebetulan.

Tag: