AMUK Bahari Tetap Menolak Raperda RZWP3K Kaltim

Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan (AMUK) Bahari  tetap menolak  Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi (RZWP3K) Kalimantan Timur disahkan menjadi Perda. (Foto Istimewa)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan (AMUK) Bahari  tetap menolak  Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi (RZWP3K) Kalimantan Timur yang ada sekarang ini disahkan menjadi Perda RZWP3K Kaltim, karena perlu dikoreksi agar ruang bagi masyarakat pesisir mendapat porsi lebih luas dibandingkan ruang yang akan diberikan kepada pengusaha untuk mengekploitasi wilayah pesisir.

“Raperda RZWP3K Kaltim wajjib ditolak karena dirumuskan bukan untuk kepentingan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Sebaliknya, Raperda ini disusun melayani kepentingan investasi pertambangan migas dan batubara, reklamasi untuk properti dan terminal khusus eksploitasi industri kayu dan perkebunan skala luas,” kata  Koalisi AMUK Bahari, Seny Sebastian, Divisi Simpul Perlawanan JATAM, Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, dan Pokja Pesisir Nelayan  Balikpapan pada Niaga.Asia, Rabu (26/2/2020).

Menurut Seny Sebastian yang juga jadi juru bicara AMUK Bahari, dalam Raperda RZWP3K Kaltim  kawasan permukiman untuk nelayan hanya dialokasikan seluas  25,22 ha saja. Padahal jumlah nelayan di Kalimantan Timur tercatat sebanyak 137.553  jiwa, yang terdiri dari 47.477 keluarga nelayan tangkap dan 90.076 keluarga nelayan budidaya.

“Tak hanya itu, meski luasan kawasan perikanan tangkap dialokasikan seluas 2.605.046,40 ha, namun keberadaan kawasan tangkap tersebut berada jauh dari jangkauan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil. Dengan demikian, nelayan akan kesulitan karena harus bersaing dengan kapal-kapal besar pengangkut batu bara,” ujarnya.

“Ini merupakan bentuk ketidakadilan yang akan dilanggengkan oleh Perda Zonasi Kalimantan Timur,” tegas Susan Herawati menambahkan.

Tak Hanya itu, Raperda RZWP3K Kaltim juga tidak membahas kawasan darat atau kecamatan pesisir sebagaimana dimandatkan oleh Peraturan Menteri KP No. 23 Tahun 2016 tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil.

“Dampaknya, keberadaan ekosistem mangrove primer sebagaimana terdapat di kawasan Teluk Balikpapan akan terancam hilang karena ekspansi industri serta pengembangan untuk kawasan Ibu Kota baru,” kata Susan.

Dalam konteks pengelolaan hutan mangrove, kata Susan, KIARA mendesak pemerintah untuk menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai area konservasi berbasis masyarakat yang berwawasan berkelanjutan.

“Kerusakan akibat operasi industri keruk dan industri lapar-lahan lainnya terus membesar, didaratan hingga sabuk pesisir,” tegasnya.

Menurutnya, Raperda RZWP3K Kaltim hanya akan melegalkan perusakan kawasan pesisir oleh industri, RZWP3K Kaltim jelas mengabdi dan melayani kepentingan investasi pertambangan Migas, mineral dan batubara,  bahkan reklamasi untuk bisnis properti,  bukan untuk melindungi kepentingan masyarakat rakyat serta eksositem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. (fs)

Tag: