Bahaya Laten Revolusi Industri 4.0 Itu Bernama Disrupsi SDM

aa
ilustrasi

TEMA revolusi industri 4.0 menjadi magnet perbincangan bagi banyak orang, tak terkecuali para calon presiden. Baik calon presiden petahana Joko Widodo (Jokowi) maupun calon presiden oposisi Prabowo Subianto memberi perhatian lebih terkait strategi menghadapi tantangan revolusi industri 4.0.

Di satu sisi, Jokowi menilai pemerintah perlu menerapkan kebijakan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni guna menghadapi tantangan revolusi industri 4.0. Selain itu, diperlukan integrasi bisnis antara sistem daring dan konvensional agar pelaku usaha bisa memperoleh akses pasar.

Di sisi lain, Prabowo mengatakan akan ada persoalan mendasar mengenai perkembangan revolusi industri 4.0, yakni larinya uang ke luar negeri. Selain itu, tantangan lain yang akan dihadapi ialah berkurangnya lapangan kerja akibat disrupsi teknologi canggih.

Istilah revolusi industri 4.0 mungkin masih terdengar asing di telinga masyarakat awam. Bahkan, respons kedua capres yang berbeda kian menimbulkan pertanyaan, seberapa pentingkah isu revolusi industri 4.0 bagi Indonesia saat ini?

Menurut definisi World Economic Forum, revolusi industri 4.0 adalah disrupsi teknologi internet ke dalam proses produksi agar proses pengolahan barang dan jasa bisa lebih efisien, cepat, dan massal. Hal ini ditandai dengan penggunaan teknologi robotik, rekayasa intelektual, Internet of Things (IoT), nanoteknologi, hingga sistem yang disebut sistem komputasi awan (cloud computing).

Hal ini merupakan kelanjutan dari revolusi industri yang berlangsung sejak 1850 silam. Pada revolusi industri pertama, produksi barang secara massal tercatat menggunakan mesin uap dan air sebagai bagian dari mekanisasi produk. Kemudian, pada revolusi industri kedua, mekanisasi produksi ditekankan pada penggunaan alat-alat elektronik.

Memasuki abad 20, revolusi industri memasuki tahapan ketiga berupa penggunaan teknologi dan otomatisasi di dalam mekanisasi produksi. Meski agak mirip dengan revolusi industri ketiga, revolusi industri 4.0 memiliki perbedaan tersendiri. Hal itu terutama dalam hal penggunaan internet dan kecepatan produksi yang jauh lebih kencang dibanding revolusi industri ketiga.

Di dalam laporan berjudul The Future of Jobs yang dirilis World Economic Forum (WEF) 2016 lalu, ditekankan bahwa industri mulai beralih menggunakan rekayasa intelektual, mesin belajar (machine learning), transportasi otomatis, dan robotik sangat pintar sudah mulai mendominasi proses produksi hingga 2020 mendatang.

Beberapa industri yang disurvei oleh WEF bahkan menunjukkan penggunaan teknologi cloud dan mobile internet menjadi fokus model bisnis mereka di masa depan. Itu kemudian disusul oleh teknologi pemrosesan data dan penggunaan big data ke dalam proses produksi, di mana pelaku industri akan mulai beradaptasi hingga 2025 mendatang.

Namun, persoalan revolusi industri 4.0 bukan sekadar perubahan pola produksi semata. Ada bahaya laten yang mengintai dan membuat hal ini menjadi topik yang harus disikapi serius oleh masyarakat dan pemerintah. Ancaman itu muncul dalam bentuk hilangnya beberapa lapangan pekerjaan di masa depan.

Mengutip laporan yang sama, WEF memprediksi akan ada 4,75 juta pekerja administrasi di 18 negara terancam dirumahkan karena disrupsi teknologi hingga 2020 mendatang. Tak ketinggalan, pekerja di bidang manufaktur sebanyak 1,6 juta orang juga berpotensi kehilangan pekerjaannya.

Di sisi lain, permintaan tenaga kerja yang membutuhkan ahli dan keterampilan tinggi akan semakin membludak di masa depan. Sebut saja ahli matematika, ahli komputer, hingga ahli pemasaran. Ini lantaran pekerjaan yang punya tingkat keterampilan rendah sudah digantikan oleh otomatisasi.

Hal serupa juga diutarakan oleh riset yang disusun Mckinsey Global Institute berjudul A Future That Works: Automation, Employment and Productivity. Sesuai laporan tersebut, gaji yang dikeluarkan industri di seluruh dunia bagi pekerja fisik sebanyak US$15 triliun per tahun bisa dihemat jika pekerjaan mereka digantikan oleh otomatisasi. Hal ini akan berdampak sedikitnya terhadap 360 juta pekerja di seluruh dunia.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan hal inilah yang menjadi alasan pentingnya masyarakat memahami revolusi industri 4.0. Revolusi industri keempat adalah sebuah keniscayaan, semua negara tentu akan memasuki fase tersebut. Namun, itu juga mengundang ancaman serius, yakni jutaan tenaga kerja bisa menganggur dengan seketika.

Terlebih, Indonesia dipandang rentan terpapar hal tersebut karena profil ketenagakerjaan Indonesia didominasi tenaga kerja berpendidikan rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus lalu mencatat jumlah penduduk bekerja sebanyak 88,43 juta. Hanya saja, 40,69 persen diantaranya hanyalah lulusan Sekolah Dasar (SD). Kemudian sebanyak 22,4 juta orang atau 18,09 persen penduduk bekerja merupakan lulusan SMP.

Indonesia juga tengah memasuki masa bonus demografi. Jika angkatan kerja terus bertambah sementara pekerja hanya memiliki tingkat pendidikan rendah, kenaikan tingkat pengangguran tentu bisa menjadi ancaman. “Jadi memang, urgensinya masyarakat perlu paham mengenai revolusi industri 4.0 adalah masalah ketenagakerjaan. Cepat lambat, dunia akan bergeser ke ekonomi digital. Makanya harus ada upgrade keahlian dan keterampilan bagi penduduk Indonesia,” ujar Ahmad.

Sebetulnya, masih ada kemungkinan pekerja dengan keahlian rendah mendapatkan pekerjaan yang serupa. Tapi, persaingannya tentu semakin ketat karena lapangan pekerjaannya semakin sedikit. Sehingga masyarakat perlu segera mengganti keahliannya sesuai yang dibutuhkan oleh industri.

Namun, mengganti keterampilan tentu bukanlah hal yang mudah serta murah. Pemerintah perlu mempersiapkan diri untuk menyiapkan SDM dengan kualitas mumpuni, apalagi dengan munculnya revolusi industri 4.0 disertai dengan pekerjaan baru yang tidak pernah terbayang 10 tahun lalu.
Vokasi Tetap Jadi Solusi

Menurut dia, kebijakan selama ini yaitu menghubungkan vokasi untuk diserap langsung oleh industri (link and match) sudah cukup bagus. Kemudian, ia juga menyambut baik kebijakan fiskal bagi perusahaan yang mengedepankan riset dan pengembangan dan pendidikan vokasi melalui kebijakan pengurangan Penghasilan Kena Pajak (tax allowance) di atas 100 persen.

Namun, ada baiknya pendidikan vokasi kini juga mulai diperkenalkan dengan kurikulum yang mendukung revolusi industri 4.0 seperti kemampuan analisis dan memecahkan masalah (problem solving). “Tahun ini memang kebijakan Jokowi untuk mulai menggarap SDM sebenarnya tidak terlambat. Memang semua negara juga tidak menyadari hadirnya disrupsi teknologi ke industri dan dampaknya ke ketenagakerjaan,” tuturnya.

Senada, Direktur Eksekutif Center on Reform of Economics (CORE) Mohammad Faisal menuturkan industri manufaktur memang diuntungkan dengan penggunaan penggunaan teknologi dan internet. Namun, sesuai teorinya, industri manufaktur harus menjadi penyerap tenaga kerja terbanyak di sebuah negara. Jangan sampai, revolusi industri baru malah menciptakan bom waktu pengangguran. “Apalagi melihat angka pengangguran kemarin, memang turun. Tapi angka itu masih belum jadi indikasi yang baik,” jelas Faisal.

Namun terkadang, minimnya penyerapan tenaga kerja akibat revolusi industri 4.0 bukan hanya disebabkan oleh rendahnya keahlian tenaga kerja semata. Menurutnya, lapangan pekerjaan itu tentu harus terbuka lebar. Sehingga, investasi dari dunia usaha tentu dibutuhkan.

Hanya saja, ia mensinyalir dunia usaha tentu tidak diberi insentif melakukan investasi, bahkan mengembangkan riset dan pengembangan (R&D), jika permasalahan mendasar tidak terpenuhi. Contohnya ongkos logistik dan harga energi yang murah, yang merupakan komponen penting dari revolusi industri sebelum-sebelumnya.

Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi revolusi industri 4.0 sebenarnya sudah benar, utamanya melalui kebijakan fiskal. Namun, ada baiknya pemerintah membenahi faktor dasarnya dulu secara paralel. “Prinsip dari industri adalah meminimalisasi biaya. Penggunaan robot dan internet memang bikin efisien dan kualitas produk akan lebih bagus, tapi ongkos mahal dan logistic cost yang tinggi bikin daya saing tidak akan optimal. Kalau itu tidak dibenahi, R&D bagi revolusi industri 4.0 mungkin tidak akan berjalan,” tutur dia.

Sejatinya, ia menganggap Indonesia masih belum terlambat untuk melakukan perubahan kebijakan. Sebab, semua negara tentu juga tak siap dengan perubahan pola industri yang terjadi secara mendadak. Hal yang penting, kebijakan pemerintah perlu dibawa ke arah indikator suksesnya implementasi revolusi industri 4.0, seperti penyerapan tenaga kerja yang terjaga dan di saat yang bersamaan pertumbuhan industri juga bisa meningkat.

“Revolusi industri 4.0 itu selain membutuhkan kebijakan, juga membutuhkan ekosistem yang baik. SDM harus berkualitas, namun di sisi lain, harus ada insentif bagi pelaku usaha agar biaya produksinya lebih efisien,” terang dia.

Sumber: CNN Indonesia