Cari Kerja di Medsos, 11 WNI jadi Korban Human Trafficking Perkebunan Sawit Malaysia

Field Facilitator IOM Indonesia perwakilan Nunukan Mohammad Hidayat Hasan (Budi Anshori/niaga.asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA — Perdagangan manusia/human trafficking di Indonesia mulai merambah media sosial (Medsos). Beberapa korban dengan pengetahuan minim terjebak bujuk rayu dan janji-janji pekerjaan dengan upah besar di Malaysia.

Sepanjang tahun 2021-2022, International Organization of Migration (IOM) Indonesia Kalimantan Utara, menemukan sedikitnya 11 orang Warga Negara Indonesia (WNI) menjadi korban human trafficking akun facebook Samarinda, Kalimantan Timur.

“Modus baru human trafficking menggunakan medsos, akun-akun facebook mengumumkan perekrutan pekerja perkebunan sawit di Samarinda,” kata Field Facilitator IOM Indonesia di Nunukan, Mohammad Hidayat Hasan kepada niaga.asia, Jumat 21 Juli 2022.

Masyarakat dengan pengetahuan minim yang kesulitan mendapatkan pekerjaan tentunya tergiur dengan janji upah pekerja sawit sekitar RM 1.500 atau sekitar Rp 5.100.000, yang telah mendaftar diarahkan ke suatu penampungan.

Ketika telah berkumpul di penampungan, 11 calon pekerja dibawa menggunakan kendaraan roda empat menuju Sampit, Kalimantan Tengah menuju Sei Menggaris, Kabupaten Nunukan di provinsi Kalimantan Utara hingga sampai ke perbatasan Malaysia.

“Sesampai di Malaysia, calon pekerja bertanya kenapa dibawa ke sana? Pada awalnya minta pulang, tapi pengurus tenaga kerja mengancam kalau mau pulang bayar ganti uang transportasi,” sebutnya.

Dengan segala keterpaksaan dan tekanan, para calon pekerja akhirnya menerima dipekerjakan di perkebunan sawit tanpa gaji.
Pihak perkebunan ketika dikonfirmasi menyatakan upah pekerja telah diberikan kepala pengurus atau calo.

Hidayat menuturkan, salah seorang korban merupakan pasangan suami istri bercerita bahwa dirinya berangkat dari pulau Jawa setelah melihat iklan lowongan kerja di Facebook.

Pasangan suami istri itu mengaku tidak mendapatkan gaji berbulan-bulan, karena habis telah diambil calo sebagai pengganti biaya perjalanan dari Indonesia menuju Malaysia.

“Suami – istri ini dianggap memiliki utang RM 4.000 atau sekitar Rp 13 juta untuk membayar pengganti ongkos perjalanan,” jelasnya.

Rekrutmen bekerja di luar negeri tanpa pungutan biaya perjalanan menjadi daya tarik.
Banyak masyarakat yang butuh pekerjaan tidak menyadari modus tersebut adalah penipuan. Apalagi jika keberangkatan ke Malaysia tidak melalui jalur resmi.

Banyak faktor pendorong masyarakat memilih menjadi pekerja migran. Seperti persoalan ekonomi, sulit mencari pekerjaan dan dampak pandemi hingga janji nilai gaji di atas rata-rata normal di Indonesia membutakan pikiran.

“Mereka tertarik bekerja ke Malaysia karena tidak dipungut biaya. Ditambah faktor sulit mencari pekerjaan di kampung,” terang Hidayat.

Selama bekerja di Malaysia, korban perdagangan manusia itu sehari-hari hanya mengandalkan jatah beras perusahaan, dan mencoba bertahan hidup dengan menjual apapun yang bisa laku dan menghasilkan uang.

Bekerja tanpa gaji membuat mental dan kejiwaan pekerja tertekan. Sebab, bukan perbaikan ekonomi yang didapatkan, malah kesusahan karena dipaksa bekerja setiap hari.

“Katanya pernah dikasih amplop gaji, tapi setelah buka isinya kosong. Hal – hal begini sangat menyedihkan bagi pekerja migran,” ungkap Hidayat.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau

 

Tag: