Empat Tahun Terakhir, Pernikahan Usia Anak di Kaltim Capai 4.046

Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim Noryani Sorayalita (tengah) (Foto Istimewa)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA -Jumlah pernikahan usia anak (belum berusia 18 tahun) di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sejak tahun 2018 sampai dengan tahun 2021 atau dalam empat tahun terakhir mencapai 4.046  anak.

“Tingginya angka perkawinan anak di Kaltim karena beberapa faktor, seperti untuk menghindari zina, masyarakat menganggap normal, dan faktor lain,” kata Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim, Noryani Sorayalita saat berbicara di acara Sosialisasi Peran Pengasuhan Anak dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Usia Anak, di Hotel Ibis Samarinda, Selasa (1/3/2022).

Pernikahan usia anak adalah pernikahan yang terjadi sebelum anak berusia 18 tahun serta belum memiliki kematangan fisik, fisiologis, dan psikologis untuk mempertanggungjawabkan pernikahan dan anak hasil pernikahan tersebut, serta sah menurut agama dan negara (Erulkar, 2013; Bomantama, 2018; Fadlyana & Larasaty, 2009).

Soraya merinci, tahun 2018 angka pernikahan anak di Kaltim sebanyak 953 anak, tahun 2019 turun menjadi 845 anak, kemudian pada 2020 meningkat kembali menjadi sebanyak 1.159 anak, dan tahun 2021 turun lagi menjadi 1.089 anak.

“Jauh sebelum pandemi, pernikahan anak memang menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah,” katanya Soraya.

Maraknya pernikahan usia anak, lanjutnya, bukan hanya terjadi di Kaltim, tapi juga secara nasional, sehingga kondisi ini menempatkan Indonesia berada di peringkat ke-2 se- ASEAN dan ke 8 dunia untuk kasus perkawinan anak di tahun 2018.

Perkawinan usia anak di Indonesia tidak terlepas dari nilai-nilai yang tertanam di masyarakat sejak lama, yakni menganggap normal adanya perkawinan anak, seperti perspektif agama yang berpandangan bahwa menikah adalah cara untuk mencegah terjadinya perbuatan zina.

Selain itu, perspektif keluarga yang berpandangan bahwa perkawinan anak sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun, sehingga bukan masalah jika hal serupa tetap dilakukan.

Ada pula dari perspektif komunitas yang beranggapan, perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi, karena ketika sudah menikah harus lebih banyak mengurus dapur dan rumah tangga.

“Berbagai pandangan seperti ini, tentu menjadikan perkawinan usia anak kemudian direstui dan difasilitasi oleh orang tua, keluarga, dan masyarakat,” ujar Soraya.

Pemerintah, lanjutnya, banyak berupaya mencegah perkawinan anak, diantaranya mengubah batas usia minimal untuk perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, melalui UU Nomor 16/2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan.

“Pencegahan perkawinan anak telah menjadi prioritas kebijakan pembangunan nasional, yakni tertuang dalam Perpres Nomor 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020 – 2024),” katanya.

Selanjutnya dalam Sustainable Development Goals (SDGs), pencegahan perkawinan anak masuk dalam tujuan ke- 5, yakni mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.

“Dalam Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA), pemerintah secara spesifik menargetkan penurunan angka perkawinan usia anak dari 11,21 persen pada 2018 menjadi 8,74 persen pada akhir 2024, dan 6,9 persen pada 2030,” ujar Soraya. (gh)

Tag: