Harga Cabai Rawit di Nunukan Naik jadi Rp 100 Ribu per Kilogram

Truk pengangkut sayuran, termasuk cabai dari Sulawesi menurunkan barang milik pedagang di pasar Inhutani Nunukan. (foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Harga cabai rawit di pasar tradisional Inhutani Kecamatan Nunukan Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara kembali mengalami kenaikan dari harga pekan lalu sebesar Rp 80 ribu/kilogram menjadi Rp100.000/kilogram.

Lonjakan kenaikan dipengaruhi kondisi curah hujan tinggi yang melanda daerah penghasil cabai di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan.

“Hasil panen di Sulawesi turun karena banjir, sedangkan permintaan sangat tinggi memenuhi kebutuhan natal dan tahun baru,” kata salah seorang pemasok cabai di pasar Inhutani Nunukan, Erwin Wahab pada Niaga.Asia, Senin (20/12).

Erwin menuturkan, harga cabai rawit mulai mengalami kenaikan di pertengahan tahun 2021 dari harga normal Rp 40.000 naik Rp 60.000 dan terus merangkak naik di awal bulan Desember di harga Rp.80.000.

“Hari ini harganya jadi Rp100 ribu per kilogram,” ujarnya.

Kenaikan cabai dipengaruh pula oleh tidak panennya cabai lokal Nunukan,  karena sebagian besar petaninya warga Toraja dan NTT pulang kampung merayakan natal dan tahun baru.

“Petani sayuran banyak pulang kampung, kebun-kebun mereka tidak ditanami cabai dan lainnya,” sebutnya.

Cabai Keriting Stabil

Berbeda dengan cabai rawit, harga cabai keriting hingga pekan ini tidak mengalami banyak kenaikan dari Rp 40.000/kilogram sejak bulan Agustus hanya naik Rp 60.000. Stabilnya cabai keriting menjadi alternatif bagi masyarakat penyuka masakan pedas.

“Pengelola rumah makan biasanya belanja cabai rawit 1 kilogram sehari, sekarang mereka beli cabai rawit setengah dan cabai keriting setengah,” ujarnya.

Terpisah, pedagang mie ayam di Jalan alun-alun kota Nunukan, Sutomo mengaku mengalami penurunan keuntungan pasca kenaikan harga-harga barang, namun begitu dirinya berusaha tetap mempertahankan harga jualannya.

“Harga-harga barang termasuk cabai dan telur naik, tapi kami tidak berani menaikan harga jualan mengikuti kenaikan bahan mentah,” tuturnya.

Satu porsi mie masih tetap dijual Rp 10.000 dan Rp 13.000 jika ditambah telur ayam, harga tidak mengalami kenaikan meski harga cabai dan telur naik sejak beberapa bulan terakhir ini.

Pedagang kecil lanjut Satomo tidak akan berani berspekulasi menaikan harga jualan di tengah kenaikan harga bahan mentah makanan. Pedagang pasti lebih memikirkan mendapat keuntungan kecil ketimbang kehilangan pelanggan.

“Semakin naik harga barang, semakin sedikit keuntungan kami, tapi kalau terus naik – naik bisa habis juga dagangan kami,” ucapnya.

Sutomo menyadari jenis dagangan yang dijualnya memerlukan cabai rawit sebagai pelengkap untuk membangkitkan rasa pedas. Kebutuhan ini harus ada setiap hari bersama tomat, kecap dan jeruk.

Dengan naiknya harga cabai rawit, pedagang makanan di Nunukan tidak lagi menggunakan cabai rawit sebagai campuran tunggal pembuatan lombok, biasanya ada tomat atau lombok keriting dicampurkan.

“Saya mencampurkan cabai keriting dan cabai rawit, kalau tidak begitu bisa rugi pedagang mas,” imbuhnya.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau

Tag: