Presiden Joko Widodo Memburu Harta Haram di Swiss Rp11.000 Triliun

aa
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wakil Presiden Swiss Doris Leuthard (kanan) saat kunjungan kehormatan di Istana Negara, Jakarta.

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Setelah Perjanjian Mutual Legal Assistance Indonesia – Swiss diteken, kini dimulailah audit harta haram Rp 7 ribu Triliun hingga Rp 11 ribu Triliun di Bank Swiss. Swiss menjadi tempat untuk menyimpan aset haram dari negara lain, salah satunya Indonesia. Namun kini Indonesia sepakat untuk menandatangani Perjanjian Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance Treaty)

Hal itu diperkuat kembali dengan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana/ Mutual Legal Assistance (MLA) antara Republik Indonesia berhasil ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI, Yasonna Hamonangan Laoly dengan Konfederasi Swiss di Bernerhof Bern pada 4 Februari 2019. Kini, dimulailah pengauditan harta haram di negeri tersebut, Rp 7000 Triliun hingga Rp 11.000 Triliun.

Perjanjian ini menguntungkan bagi Indonesia untuk mempersempit ruang gerak para penjahat untuk menyembunyikan aset kejahatannya di Swiss. Selain itu perjanjian ini dimaksudkan untuk jadi peringatan bagi para koruptor, pengemplang pajak, dan sindikat narkoba. Perjanjian ini agar tak lagi berani mengalirkan dana hasil kejahatan mereka ke Swiss. Akhirnya ada solusi terhadap masalah yurisdiksi dalam penegakan hukum.

Dengan Perjanjian Mutual Legal Assistance Indonesia – Swiss, melahirkan kesepakatan untuk membekukan dan menyita aset para pelaku kejahatan serta koruptor di kedua negara. Salah satu contoh, rekening gendut milik 84 WNI di Bank Swiss. Nilainya mencapai Rp 2.535 Triliun (kurs Rp13.000 per USD). “Punya nyali melaksanakan Pergantian dan melawan korupsi ialah sesuatu yang membikin kita lebih dihargai,” kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI.

aa
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kiri) dan Kepala Departemen Peradilan dan Kepolisian Federal Swiss Karin Keller Sutter di Bern, Swiss, Senin 4 Februari 2019. (Foto: Kemenkumham for ngopibareng.id)

Ungkapan Sri Mulyani ini, menyusul catatan penting pada Minggu, 9 Desember 2018, bersesuaian dengan warning hari anti korupsi sedunia, Presiden Jokowi mempertegas tekadnya dalam mengejar para koruptor yang menyembunyikan uang hasil korupsi di luar negeri.

Bagian aset hasil korupsi tersebut ada di Swiss yang terkenal dengan servis perbankannya. Servis yang baik ini diikuti dengan tax haven atau pajak yang kecil bahkan dapat juga bebas pajak. Hal ini menyebabkan Swiss selaku bagian negara maksud Inti dalam menyimpan biaya hasil korupsi.

Bersama-sama-sama pemerintah Swiss, pemerintah Indonesia sudah mencapai titik jelas dalam menyepakati mutual legal assignment (MLA). MLA ini Adalah platform yang legal untuk mengejar uang hasil korupsi dan money laundering yang koruptor sembunyikan. Sehingga, dengan adanya MLA, harta dan aset dari para koruptor dapat jadi sitaan Negara.

Adanya Komitmen lewat MLA antara Indonesia-Swiss jadi sinyal bagi dunia internasional untuk berkomitmen kuat dalam menanggulangi kejahatan lintas negara, khususnya pencucian uang dari usaha hasil korupsi. Oleh sebab itu, program tersebut memperlihatkan ketegasan sikap pemerintah RI yang tidak menolerir segala bentuk korupsi atau money laundry.

Presiden Joko Widodo menegaskan, di dalam negeri pemerintah pun terus melaksanakan bermacam usaha untuk memberantas korupsi. Contohnya ialah dengan penyediaan servis bebrbasis elektronik seperti e-tilang, e-samsat, e-budgeting, hinnga e-planning. Serta merilis aturan untuk melarang praktik korupsi seperti Peraturan Presiden No. 54/2018 soal taktik nasional pencegahan korupsi dan PP No 63/2018 soal tata cara penyelenggaraan peran serta warga dan pemberian penghargaan sebab membantu pemberantasan tindak kejahatan korupsi.

Berbicara Soal uang hasil korupsi yang mangkrak di luar negeri, Memperingatkan kita kembali akan Tax amnesty (pengampunan pajak) yang pernah digencarkan pemerintahan kita pada periode 2016-2017. MLA dapat digunakan untuk proses hukum penyidikan, penuntutan, sampai eksekusi putusan yang berkekuatan hukum tetap. Penyidikan bisa keterangan saksi, mencari keberadaan seseorang, mengetahui apakah ada aset berupa moveable aset, rumah, tanah dan yang lain bisa pake MLA itu.

Dalam perjanjian MLA, Indonesia bisa meminta bantuan Swiss dalam upaya paksa terhadap pelaku kejahatan seperti penggeledahan pemblokiran rekening, atau membuka rekening bank tak terduga. Untuk upaya non paksa lainnya, Indonesia juga dapat meminta data daftar perusahaan yang diduga terkait dengan pencucian uang. Namun perlu dicatat kerjasama ini tidak mencakup ekstradisi dan hukuman badan terhadap pelaku tindak pidana.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro memperkirakan, sedikitnya ada 84 WNI memiliki Rekening Gendut di bank Swiss. Nilainya mencapai kurang lebih US$ 195 miliar atau sekitar Rp 2.535 Triliun (kurs Rp 13.000 per US$). Jauh di atas belanja negara dalam APBN 2016 sebesar Rp 2.095,7 triliun, sebagaimana dilansir Thejakartapost.com.

Swiss memang dikenal sebagai negara yang sistem kerahasiaan perbankannya sangat ketat. Itu yang membuat banyak pengusaha, politisi hingga selebritis yang bertujuan untuk menghindari kewajiban pajak dengan membuat rekening di Swiss. Maka itu perjanjian yang disetujui oleh Swiss dan Indonesia merupakan langkah positif dari pemerintah Swiss untuk memerangi kejahatan internasional.

Diberitakan ngopibareng.id sebelumnya, Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana/ Mutual Legal Assistance (MLA) antara Republik Indonesia berhasil ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI, Yasonna Hamonangan Laoly dengan Konfederasi Swiss di Bernerhof Bern pada 4 Februari 2019.

Perjanjian MLA RI-Swiss ini merupakan perjanjian MLA yang ke-10 yang telah ditandatangani oleh Pemerintah RI (Asean, Australia, Hong Kong, RRC, Korsel, India, Vietnam, UEA, dan Iran), dan bagi Swiss adalah perjanjian MLA yang ke 14 dengan negara non Eropa.

Namun perjanjian MLA RI-Swiss merupakan capaian kerja sama bantuan timbal balik pidana yang luar biasa, dan menjadi sejarah keberhasilan diplomasi yang sangat penting, mengingat Swiss merupakan financial center terbesar di Eropa.

“Penanandatanganan Perjanjian MLA ini sejalan dengan program Nawacita, dan arahan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan. Di antaranya pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia tahun 2018 dimana Presiden menekankan pentingnya perjanjian ini sebagai platform kerjasama hukum, khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi (asset recovery),” kata Yasona dalam siaran pers diterima ngopibareng.id, Selasa 5 Februari 2019.

Perjanjian ini terdiri dari 39 pasal, yang antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta.

“Sejalan dengan itu, Perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud) sebagai upaya Pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melalukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya,” katanya.

Sumber: ngopibareng.id