Kemenkes Perkirakan Indonesia Membutuhkan Delapan Juta APD

Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Arianti Anaya. (Foto BNPB)

JAKARTA.NIAGA.ASIA- Kementerian Kesehatan RI telah memperkirakan bahwa Indonesia membutuhkan sekitar 8.000.000 APD untuk penanganan kasus COVID-19 hingga Juni 2020 dengan jumlah kasus lebih dari 20.000. Untuk itu, Kementerian Kesehatan  mempermudah penerbitan izin edar bagi industri yang memproduksi alat pelindung diri (APD), dengan ketentuan harus memenuhi standar yang telah ditetapkan.

“Kementerian Kesehatan melakukan relaksasi memberikan kemudahan perizinan alat kesehatan yang dibutuhkan dalam penanganan COVID-19, termasuk APD. Untuk APD-APD yang sudah memenuhi syarat untuk bisa mendapatkan izin edar,” ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Arianti Anaya di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Jumat (17/4).

Saat ini Kementerian Kesehatan telah menerbitkan izin edar kepada beberapa industri yang dinilai telah memenuhi persyaratan dan standar dalam memproduksi APD. Adapun cara mengetahui apakah APD yang diproduksi telah memenuhi standar yang ditentukan oleh Kementerian Kesehatan, terlebih dahulu dilakukan uji laboratorium terhadap material yang digunakan.

Selanjutnya untuk APD yang dinyatakan belum sesuai dengan standar bahan yang ada di dalam pedoman Kementerian Kesehatan serta belum memenuhi standar uji yang telah ditetapkan, masih bisa digunakan di area-area dengan tingkat penularan COVID-19 yang rendah.

“Contohnya kita membutuhkan APD untuk tenaga kefarmasian, tenaga gizi, pengendara ambulance. Ini bisa digunakan APD non medis, dan untuk APD ini tidak memerlukan izin edar,” kata Arianti.

Pedoman Penggunaan APD

                Arianti menambahkan, penggunaan alat pelindung diri (APD) coverall disesuaikan dengan risiko penularan seiring dengan penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. APD coverall memiliki spesifikasi menutup dari kepala hingga kaki sehingga penggunaannya sangat penting disesuaikan dengan tingkat risiko penularan.

“Jika tenaga kesehatan bekerja di area dengan infeksi yang sangat tinggi maka diharuskan menggunakan coverall yang mampu menahan cairan, darah, droplet, dan aerosol,” katanya.

Material yang biasa digunakan untuk coverall untuk melindungi tenaga kesehatan di risiko sangat tinggi. Material tersebut biasanya dibuat dari nonwoven atau serat sintetis dengan pori-pori yang sangat kecil, yakni 0,2 sampai 0,54 mikron.

“Tentunya, hal ini harus dibuktikan dengan hasil pengujian dari material yang digunakan di laboratorium yang terakreditasi,” katanya.

Arianti mengakui ada berbagai macam coverall yang sekarang ini beredar di masyarakat seiring dengan meningkatnya kebutuhan APD yang membuat banyak industri dalam negeri membuat coverall.

“Isu kelangkaan APD ini telah mendorong banyak industri dalam negeri yang berniat baik turut berpartisipasi membuat coverall untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan,” katanya.

Bermacam-macam APD coverall, kata dia, dibuat dan dijual dengan berbagai variasi bentuk dan harga.

“Untuk mengantisipasi semakin banyaknya pembuatan coverall di masyarakat, tentunya kita harus memberi standar,” katanya.

Untuk itu, Arianti menyebutkan Kemenkes telah menerbitkan dua pedoman sebagai acuan standar bagi penanganan dan manajemen COVID-19. Pertama, standar APD dalam manajemen konflik COVID-19, dan kedua, petunjuk teknis alat pelindung diri untuk menghadapi wabah COVID-19.

“Diharapkan standar pedoman ini bisa digunakan oleh tenaga kesehatan dalam memilih APD yang dibutuhkan, dan juga kami mengharapkan industri bisa menggunakan pedoman ini sebagai acuan untuk membuat APD,” pungkasnya.  (*/001)

Tag: