Kenaikan Harga Energi dan Pangan Picu Inflasi Global

PBB dan World Bank memperirakan inflasi global yang terjadi saat ini akan menambah sekitar 75 juta – 95 juta penduduk miskin pada 2022

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Pendiri dan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik Rachbini, mengatakan,  kenaikan harga energi dan pangan yang tinggi telah berdampak pada inflasi di beberapa negara, termasuk Indonesia.

“Inflasi akan menggerus daya beli masyarakat, sedangkan bagi investor, inflasi akan meningkatkan suku bunga sehingga investasi dan kegiatan bisnis akan terhambat,” ujarnya.

Bank sentral AS (Federal Reserve) mengumumkan kenaikan suku bunga sebesar 0,75% menjadi 1,75% pada Rabu (15/06), demi menekan harga barang yang terus melonjak.

Itu adalah kenaikan suku bunga acuan tertinggi yang dilakukan bank sentra AS – yang dikenal dengan The Fed – selama 30 tahun terakhir.

Suku bunga bank yang lebih tinggi, telah memicu peningkatan permintaan dolar dan membuat nilai tukar dolar AS menguat 10% sejak awal tahun. Imbasnya, nilai mata uang lain melemah, termasuk rupiah.

Merujuk data Bloomberg, rupiah melemah 0,31% menjadi Rp 14.745 per dolar AS pada perdagangan Rabu (15/6).

Meski menguat pada Kamis (16/06) pagi, nilai tukar rupiah diprediksi akan bergerak melemah terhadap dolar AS karena efek dari kebijakan The Fed yang mengerek suku bunga sebesar 75 basis poin.

Ini adalah kali ketiga bank sentral AS menaikkan suku bunganya sejak Maret, setelah inflasi di AS yang melonjak drastis bulan lalu.

Kenaikan suku bunga diperkirakan akan terus terjadi, yang nantinya akan memicu ketidakpastian ekonomi global.

Di AS, bensin kini dibanderol dengan harga US$5, atau setara Rp73.000, per galon (setara 3,7 liter).

Sementara di Inggris, di mana harga konsumen melonjak 9% pada bulan April, bank sentral Inggris diperkirakan akan mengumumkan kenaikan suku bunga kelima sejak Desember pada hari Kamis (17/06).

Diperkirakan, suku bunga acuan bank sentral Inggris akan berada di atas 1% untuk pertama kalinya sejak 2009.

Di AS, bensin kini dibanderol dengan harga US$5, atau setara Rp73.000, per galon (setara 3,7 liter). Para ekonom sempat memperkirakan bahwa Maret 2022 akan menjadi puncak lonjakan harga konsumen. Namun, data pada Mei 2022 malah memperlihatkan lonjakan lagi, dengan kenaikan sampai 8,6 persen dalam 12 bulan terakhir.

Brazil, Kanada dan Australia juga telah menaikkan suku bunga, sementara bank sentral Eropa telah menguraikan rencana untuk melakukan langkah serupa akhir musim panas ini.

Sementara ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo menyebut efek kebijakan The Fed akan memberikan dampak sangat berat bagi Indonesia.

“Harga akan terkerek naik. Uang lari ke Amerika, outflow ini juga susah ditebak. Rentetan (dampak kebijakan The Fed ini) akan panjang,” ujar Dradjad seperti dikutip dari Kompas.com.

Respons kebijakan moneter untuk mengurangi inflasi dengan meningkatkan suku bunga acuan, pada akhirnya akan memukul investasi, khususnya foreign direct investment (FDI) ke negara berkembang karena modal akan condong lari ke negara-negara asalnya dan asset yang aman seperti USD.

“Peningkatan suku bunga, juga berarti kenaikan biaya pembiayaan yang dapat menghambat investasi karena biaya investasi yang ditimbulkan menjadi besar,” paparnya.

Sementara itu peningkatan inflasi membuat banyak negara dapat mengalami neraca pembayaran yang negatif.

Gubernur bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) Perry Warjiyo menyebut kenaikan suku bunga The Fed adalah “risiko yang terus dimonitor dan antisipasi”.

“Semoga tidak ada suatu surprises (kejutan) di global maupun domestik sehingga pemulihan ekonomi secara domestik terus berlanjut, stabilitas ekonomi dan keuangan terus terjaga, inflasi terus terjaga, nilai tukar [rupiah] terjaga,” jelas Perry dalam seminar bertajuk Managing Inflation to Boost Economic Growth, Rabu (15/06).

Perry memperkirakan suku bunga The Fed akan naik menjadi 2,75% tahun ini, dan meningkat kembali tahun depan menjadi 3,25%.

Harga makanan yang mahal adalah salah satu faktor yang memicu inflasi.

Namun, Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, menegaskan Indonesia memiliki “koordinasi fiskal dan moneter yang kuat” untuk merespons kenaikan harga energi dan pangan yang tinggi.

Dari sisi fiskal, kata Perry, pemerintah telah meningkatkan subsidi sehingga tidak semua kenaikan harga energi dan komoditas dunia berdampak pada inflasi dalam negeri.

“Pemerintah telah mendapat persetujuan dari DPR untuk menaikkan subsidi, khususunya bagi premium, diesel, listrik, elpiji, dan juga meningkatkan bantuan sosial,” jelas Perry.

Sementara harga-harga barang nonsubsidi, seperti Pertalite dan Pertamax, mengalami kenaikan.

Sementara dari sisi moneter, kata Perry, Bank Indonesia turut berpartisipasi dalam pembiayaan biaya kesehatan dan kemanusiaan, dengan membeli SBN senilai Rp224 triliun.

“Kami serahkan pada pemerintah untuk mengalokasikan apakah sebagian juga untuk membiayai subsidi tadi,” kata dia.

“Karena koordinasi fiskal dan moneter yang kuat, makanya kenaikan harga energi dan komoditas global tidak berdampak signifikan pada inflasi dalam negeri.” Ucapnya.

Sumber: BBC News Indonesia | Editor: Intoniswan

Tag: