NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Pemerintah Malaysia hingga saat ini masih mengklaim Pelabuhan Batu Sungai Pancang di Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara yang dibangun pemerintah Indonesia berada dalam wilayah perairan negaranya.
Klaim tersebut menjadikan pelayaran langsung dari Sebatik ke Tawau, Sabah, Malaysia yang tidak pernah bisa diformalkan sejak tahun 2012 terancam menjadi berlarut-larut. “Pemerintah Malaysia secara sepihak mengklaim perairan yang berhadapan dengan Pelabuhan Batu Sungai Pancang tersebut masuk wilayah negara mereka,” ungkap Wakil DPRD Nunukan Hajah. Nursan pada Niaga.Asia, Rabu (18/4/2018).
Menurutnya, klaim Malaysia atas perairan Indonesia disampaikan dalam pertemuan Pemerintah Kabupaten Nunukan (Indonesia) dengan Pemerintah Malaysia. “Mereka bilang perairan di depan dermaga masuk wilayah administrasi Tawau,” katanya.
Klaim muncul setelah terbangunnya pelabuhan yang letaknya berdekatan dengan dermaga Pos TNI AL, sedangkan pemerintah Indonesia telah menyiapkan sarana dan prasarana untuk sandar kapal penumpang lokal dan internasional di pelabuhan tersebut.
Nursan mengungkapkan, munculnya persoalan klaim batas laut antar negara membuat persoalan semakin rumit, belum lagi dalam pertemuan terakhir di Surabaya bulan Oktober 2017 , Malaysia mempersoalkan aktifitas pelayaran kapal Indonesia yang menurut mereka berada di laut Malaysia. “Alasan mereka kalau mengijinkan pelayaran sama hal Malaysia mengakui perairan itu milik Indonesia,” bebernya.
Malaysia ingin memonopoli
Nursan juga merasa dalam kegiatan ekonomi, khususnya transportasi laut, Malaysia ingin memonopoli, sehingga hanya kapal-kapal milik pengusaha Malaysia mengisi rute angkutan penumpang dan barang dari Nunukan-Tawau (PP) dengan menetapkan spesifikasi yang boleh masuk ke Tawau berdasarkan spesifikasi dan standar yang mereka tentukan sendiri.
“Pemerintah Indonesia menyediakan kapal penumpang Tasbara mengisi rute Nunukan-Sebatik-Tawau. Tapi kapal itu hingga kini ditolak Malaysia masuk ke Tawau dengan alasan tidak memenuhi standar mereka. Kapal yang beroperasi sekarang semuanya milik pengusaha Malaysia,” kata Nursan.
Kapal Tasbara dianggap Malaysia tidak memenuhi syarat karena badan kapal ukuran 20 GT dari fiber dan mesin gantung ,” ujarnya. Tasbara adalah kapal bantuan Badan Nasional Penanggulangan Perbatasan (BNPP) tahun 2016 senilai Rp 3 miliar.
Ia mengungkapkan, dalam pertemuan Sosek Malindo tahun 2017, pernah mengusulkan kapal Malindo Express yang melayani Nunukan-Tawau dijadikan alat transprotasi Sebatik-Tawau sebagai pengganti Tasbara, tapi tidak direspon Malaysia. “Sekarang semua jadi masalah, kapal bermasalah, posisi laut di depan dermaga Sei Pancang juga dipersoalkan, akhirnya gagal semua,” sebutnya. “Target Malaysia sepertinya bagaimana membuat pelabuhan di Sungai Pancang tidak berfungsi,” tambahnya. (002)