PAD Tahun 2023 Turun, Wabup Nunukan Sentil Pengusaha Tidak Kooperatif Bayar Pajak

Wakil Bupati Nunukan Hanafiah (niaga.asia/Budi Anshori)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA — Turunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Nunukan tahun 2023 dengan perkiraaan Rp 110 miliar dibandingkan tahun 2022 sebesar Rp 130 miliar, tidak lepas dari belum stabilnya sektor usaha perhotelan, restoran serta reklame.

“Salah satu sumber PAD kita dihasilkan dari pajak hotel dan restoran, kafe-kafe ditambah sektor perkebunan serta rokok,” kata Wakil Bupati Nunukan, Hanafiah, kepada niaga.asia, Rabu.

Sumber PAD dari pajak dan retribusi yang masih berkutat di angka Rp 100 miliar sampai Rp 140 miliar dipengaruhi pula belum disiplinnya pemilik restoran dan kafe dalam memungut pajak 10 persen kepada konsumen.

Pemilik restoran dan kafe masih berpandangan bahwa pajak 10 persen konsumen sebagai beban bagi usahanya. Padahal, pembayaran pajak tidak akan mengurangi penghasilan pendapatan dari bisnis tersebut.

“Misalnya harga mie goreng Rp 20.000 ditambahkan pajak konsumen 10 persen, jadi harga jual makanan di restoran jadi Rp 22.000,” ujar Hanafiah.

Dari ratusan restoran yang aktif berjualan setiap hari, Pemkab Nunukan baru mencatat satu tempat restoran yang cukup kooperatif menyetorkan pajak dari konsumen dengan penghasilan per tahun antara Rp 20 juta sampai Rp 30 juta.

Belum kooperatifnya restoran dalam menjalankan pajak konsumen menjadi alasan sulit bagi Pemkab Nunukan meningkatkan PAD. Kondisi itu perlu disikapi instansi terkait dengan kembali mensosialisasikan pajak konsumen.

“Ada ratusan restoran di Nunukan tapi hanya beberapa tempat usaha yang memiliki kesadaran betapa pentingnya pajak konsumen untuk daerah,” terang Hanafiah.

Menurutnya pendapatan dari PAD dapat dipergunakan untuk semua sektor karena sumber penghasilan menjadi hak pemerintah daerah sendiri. Berbeda dengan pendapatan dari transfer dana dari pemerintah pusat dan dana bagi hasil yang tidak fleksibel.

Karena itu pemerintah saat ini sedang berupaya meningkatkan PAD dengan meminta pemilik usaha rumah burung walet di Kabupaten Nunukan, yang jumlahnya lebih 1.000 lebih bangunan agar bersedia membayarkan pajak.

“Kami minta pemilik rumah walet ikut berpartisipasi dan kooperatif menyerahkan pajak penghasilan penjualan,” tegas Hanafiah.

Besaran pungutan pajak burung walet sebagaimana amanat Undang-Undang sebesar 10 persen. Namun, dalam rangka edukasi tahap awal, Pemkab Nunukan menurunkan besaran pajak menjadi 7,5 persen.

Kebijakan pemerintah daerah dalam menurunkan besaran pajak usaha walet seharusnya disikapi dengan baik oleh pemilik usaha dengan sukarela dan kesadaran penuh untuk menyadari bahwa ada kewajiban yang harus mereka penuhi.

“Kita butuh kejujuran pemilik usaha walet. Kadang ada yang bayar Rp 1 juta sampai Rp 2 juta per tahun. Padahal penghasilan puluhan kilo gram per tahun,” ucapnya.

Masyarakat harus memahami perbedaan antara retribusi dengan pajak, karena dua penghasilan dari PAD ini memiliki makna yang berbeda. Pajak adalah suatu kewajiban yang mengikat kepada masyarakat.

Berbeda dengan retribusi. Di mana penghasilan itu biasanya didapatkan setelah pemerintah berinvestasi membangun fasilitas umum seperti terminal, pasar dan sarana infrastruktur yang penggunaannya dipungut sebagai biaya retribusi.

“Membayar pajak adalah kewajiban tiap warga yang sedang berusaha dan pemerintah tidak memiliki kewajiban menyiapkan timbal balik dari penghasilan pajak itu,” demimian Hanafiah.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Intoniswan

Tag: