Pembatasan Video dan Foto di Medsos ‘Tak Efektif’ karena Pengguna Pakai VPN

aa
Sejak pemerintah mengumumkan pembatasan akses media sosial, warganet menggunakan aplikasi koneksi untuk mengakali kebijakan tersebut. (: Hak atas foto Bay Ismoyo/AFP Image caption)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Beberapa pihak menanyakan efektivitas kebijakan pembatasan akses media sosial termasuk aplikasi pesan singkat WhatsApp yang dimaksudkan untuk membendung penyebaran hoaks alias berita bohong.

Sejak pemerintah mengumumkan pembatasan akses media sosial, warganet menggunakan aplikasi koneksi untuk mengakali kebijakan tersebut.  Salah satunya, Muhammad Idam Jabbar, seorang pegawai swasta yang tinggal di Tangerang, yang mengaku kesulitan mengakses gambar dan data PDF via aplikasi pesan singkat WhatsApp.

Setelah menggunakan aplikasi koneksi alternatif, akhirnya koneksinya kembali seperti semula.  “Kemarin saya dari siang mulai kesulitan nggak bisa kirim file gambar sama file PDF via WA, sama ada pembatasan akses instragram. Saya pakai aplikasi namanya Intra, sudah lancar, bisa,” ujar Idam kepada BBC News Indonesia, Kamis (23/05).

Hal yang sama dikemukakan Bunga Pertiwi yang mengeluh tidak bisa mengakses platform media sosial Twitter dan Instagram.  Demikian halnya WhatsApp yang hanya bisa mengirimkan teks, namun tidak bisa mengakses video dan foto yang diterima akun WhatsAppnya.  “Akhirnya aku pakai VPN-deh, tapi setelah tahu tentang privacy data, mungkin kita nggak pakai VPN kalau melakukan transaksi perbankan atau apa pun itu,” ujar Bunga.

Virtual Private Network (VPN) menjadi salah satu alternatif aplikasi yang paling banyak digunakan warganet untuk mengakses media sosial, selama pembatasan akses diberlakukan pemerintah. Meski demikian, penggunaan VPN – seperti layaknya semua produk di dunia – punya risiko.

Pakar teknologi informasi Ruby Alamsyah mengatakan penggunaan VPN gratis berisiko pada keamanan data pengguna. VPN yang gratis belum tentu menjamin semua traffic internet yang melalui jaringan VPN tidak disimpan oleh pihak penyelanggara VPN. “Jadi traffic internet kita, baik itu akses ke media sosial, akses ke email, itu bisa diintercept oleh pihak penyelanggara VPN tadi,” kata dia.

Selain itu, kebanyakan dari masyarakat tidak menyadari aplikasi VPN yang mereka gunakan, disusupi oleh spyware yang mengakibatkan “data sedetail apapun di handphone kita akan diambil.”

Efektifkah pembatasan akses media sosial?

Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan pembatasan sementara terhadap fitur media sosial dan pesan instan demi menghambat penyebaran hoaks seputar aksi demo dan kerusuhan pada 21 dan 22 Mei.  Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan pengguna sejumlah media sosial tidak bisa mengirim dan menerima video dan foto untuk sementara waktu.

Komite Fact-Checher Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Ariwibowo Sasmito menganggap langkah ini tak cukup efektif membendung penyebaran hoaks, karena bagaimanapun, warganet selalu memiliki cara untuk mengakalinya. “Masyarakat sendiri sudah cukup pandai untuk ‘mencari jalan belakang’,” cetusnya.

Namun, Pakar teknologi informasi Ruby Alamsyah memandang langkah yang dilakukan pemerintah ini cukup efektif menekan penyebaran hoaks yang masif di tengah keresahan masyarakat terhadap kerusuhan yang terjadi pada Rabu (22/05) dini hari.

“Karena begitu pembatasan itu dilaksanakan, penyebaran hoaks jauh berkurang, walaupun di sisi lain masyarakat ada yang masih menggunakan VPN, software untuk mengakalinya, tapi intinya penyebaran itu tidak terjadi masif sebelum adanya pembatasan,” kata dia.

Melanggar hak berkomunikasi?

Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menentang kebijakan pembatasan foto dan video di media sosial ini yang menurut mereka tak sesuai Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta pasal 19 Deklarasi Umum HAM yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.

Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan memahami upaya ini dilakukan pemerintah untuk membatasi akses media sosial untuk menghindari tersebarnya kabar bohong yang dengan mudah tersebar di media sosial, namun kebijakan ini juga membatasi hak publik untuk memperoleh informasi.  “Kami juga melihat bahwa ada kebutuhan lain yang diganggu oleh kebijakan itu, yaitu peluang masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar juga ikut terganggu,” kata dia.

“Media sosial kantidak hanya digunakan untuk menyebarkan kabar bohong, tapi dia juga digunakan untuk berbagai kabar, termasuk juga untuk kebutuhan bisnis yang itu dilakukan oleh orang-orang di luar Jakarta,” imbuhnya kemudian.

Senada, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memandang pembatasan akses terhadap media sosial dan aplikasi messaging telah menghambat komunikasi masyarakat, terutama melalui aplikasi Whatsapp dan Line.

“Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pembatasan akses terhadap media sosial dan aplikasi messaging harus benar-benar mengkaji batas-batasannya yang jelas, agar tidak membuka peluang terjadinya pengurangan hak dan kepentingan yang lebih luas, seperti hak untuk berkomunikasi,” ujar Direktur Eksekutif ICJR Anggara dalam keterangan tertulisnya.

Berdasar pengamatan BBC News Indonesia, platform media sosial populer di Indonesia seperti Instagram, WhatsApp dan Facebook sulit diakses menggunakan seluler sejak Rabu (22/05) siang. Akses video dan foto hanya bisa dilakukan via jaringan nirkabel atau wifi.

Berbagai hoaks, dari Brimob bermata sipit dan foto peluru tajam

Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara mengatakan akses ke sejumlah media sosial tersebut dibatasi karena perannya dalam penyebaran konten hoaks di tengah kerusuhan. “Jadi fitur yang sementara kita prioritaskan untuk tidak diaktifkan yaitu video dan foto atau gambar, karena secara psikologis tanpa kita memberi teks, tanpa menyampaikan apa pun, hanya video saja, bisa langsung kena pada emosi,” ujar Rudiantara.

Aribowo Sasmito dari Mafindo mengatakan hoaks yang banyak beredar pada saat unjuk rasa yang dimulai pada Selasa (21/05) dan berujung pada kerusuhan pada Rabu (22/05) dini hari antara lain adanya anggota Brimob yang bermata sipit, yang disebut sebagai “impor petugas dari China”.  “Padahal kita sama-sama tahu di Indonesia ini suku-suku tertentu memang bermata sipit,” kata dia.

Marak beredar pula foto peluru tajam yang disebut ditembakkan oleh aparat kepolisian terhadap massa pada saat kerusuhan. Padahal, kepolisian menegaskan aparat di lapangan tidak dibekali peluru tajam. “Sementara masyarakat masih sulit membedakan apa itu peluru tajam, apa itu selongsong yang banyak diedarkan di media sosilal itu,” kata dia. Selain itu, pada Rabu (22/05) pagi terdapat informasi simpang siur terkait jumlah korban meninggal dalam kerusuhan dan kabar adanya masjid yang diserang polisi.

Lantas, mengapa hoaks masih banyak beredar, meski sudah banyak penyebar hoaks ditahan?

Menurut Aribowo, hoaks bisa mudah menyebar karena konten yang beredar menyentuh emosi penggunanya.  “Untuk memicu emosi orang Indonesia, yang orientasinya religius dan kekeluargaan, biasanya paling banyak pakai isu SARA,” kata Aribowo.

Selain faktor emosi, minimnya literasi juga membuat hoaks mudah menyebar. Kebanyakan dari pengguna media sosial, cenderung hanya membaca sekilas konten yang tersebar di media sosial, tanpa melakukan verifikasinya terlebih dulu.

Sumber: BBC News Indonesia