Pemilu 2019: Sebagai Pejabat Publik, Bisakah Kepala Daerah Netral?

aa
Warga melintas di samping mobil box yang menjadi media alat peraga kampanye (APK) bergambar calon presiden petahana Joko Widodo yang terparkir di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Serpong, Tangerang, Banten, Minggu (17/2/2019). (Hak atas foto ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal Image caption)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Netralitas kepala daerah mulai dipertanyakan seiring banyaknya laporan kepala daerah ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Setidaknya, menurut laporan media, hampir 50 pimpinan daerah mulai dari bupati, wali kota, hingga gubernur diadukan atas dugaan pelanggaran kampanye.

Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, mengatakan kepala daerah dibolehkan kampanye asalkan mengikuti aturan yang berlaku. “Saat bertugas, dia mengajak pemilih untuk memilih paslon dengan menyebutkan visi-misi, program kerja, atau citra diri, itu pelanggaran. Semisal mengucapkan ‘Jokowi-Ma’ruf 01 atau Prabowo-Sandi 02’. Nah itu namanya citra diri,” ujar Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja kepada BBC News Indonesia, Kamis (21/02).

“Yang juga tidak boleh menggunakan fasilitas pemerintah seperti gedung, kecuali disewakan. Tidak boleh juga memakai baju dinas mengajak pemilih, kena itu. Lalu mengajak memilih di acara-acara pemerintahan atau kenegaraan juga tak boleh,” sambungnya. “Tapi selama kampanye di hari libur Sabtu-Minggu, boleh.”

Hal lain yang juga harus dipatuhi kepala daerah yakni dilarang berpihak ketika menjalankan tugas, sebagaimana diduga terjadi dalam kasus Bupati Kuningan Acep Purnama, ketika ia pidato dalam kegiatan Relawan Akar Rumput pada Sabtu (16/02). Dalam video yang beredar di media sosial, ia mengatakan yang tidak memilih Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2019 berarti laknat. “Makanya sampaikan kepada kepala desa dan perangkat desanya, lamun aya nu teu ngadukung Jokowi itu berarti laknat, bodoh…..” Demikian kata-kata yang tampak disampaikan Acep Purnama.

Prestasi dan kampanye terselubung

Oleh karena itu, kata dia, Bawaslu berencana akan memanggil Bupati Asep Kurniawan untuk memastikan posisinya saat hadir di kegiatan tersebut apakah sebagai pejabat publik atau kader partai PDI Perjuangan.  “Kalau dia pakai baju dinas ngomong begitu, ya itu tidak boleh. Ketika seorang kepala daerah memakai baju dinas kan otomatis ada batasan-batasan,” jelasnya.

Batasan lainnya yang tak boleh dilewati adalah pernyataan mempromosikan capaian hasil kerja pemerintah namun berselubung kampanye. Rahmat menunjuk perkataan Bupati Pesisir Selatan, Sumatra Barat, Hendrajoni yang dalam video berdurasi 40 detik terlihat menekankan agar penerima bantuan mengingat-ingat Jokowi sebagai pemberi bantuan. “Ini dari siapa?” tanya Hendrajoni dalam cuplikan video. Lalu dijawab “dari Jokowi”. “Tahu kan Jokowi? Ingat ya,” ujar bupati Pesisir Selatan dalam video tersebut. “Bantuan sarana dan prasarana destinasi wisata sebesar Rp320 juta, dari mana bantuan ini? dari? Joko Widodo ya,” kata Hendrajoni mengulang-ngulang ucapannya kepada para penerima bantuan.

Meski bukan termasuk pelanggaran, tapi anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, mewanti-wanti kepala daerah agar hal itu tak dilakukan. Sebab kendati kepala daerah dibenarkan menyampaikan kinerja pemerintah pusat, hanya saja sebutan Joko Widodo tanpa disertai ‘presiden’ akan mengaburkan fakta sesungguhnya. “Kenapa tak disebutkan yang melakukan presiden RI? Itu kan dana negara, bukan dana pribadi Pak Jokowi. Kalau an sich Jokowi, artinya beliau secara pribadi,” jelasnya.

aa
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (tengah), diarak oleh pendukungnya saat berkampanye di Desa Slinga, Kaligondang, Purbalingga, Jateng, Rabu (13/02). (Hak atas foto ANTARA FOTO/Idhad Zakaria Image caption)

`Sementara sebagian pejabat daerah berurusan dengan Bawaslu, sebagian lainnya mengaku mengambil cuti untuk kegiatan politik. Bupati Tangerang, Ahmed Zaki Iskandar, libur dinas ketika berlangsung debat calon presiden. “Waktu debat capres pertama, cuti sehari. Karena saya sebagai komentator debat,” ujar Bupati Tangerang, Ahmed Zaki Iskandar kepada BBC News Indonesia, Kamis (21/02). “Saya sama sekali tidak menggunakan fasilitas negara. Mendisiplan diri. Mobil kantor saya tinggal lah, pakai mobil pribadi. Kayak orang susah saja,” sambungnya.

Sebagai kepala daerah, Zaki mengaku tidak akan mendeklarasikan diri secara terbuka mendukung capres Jokowi-Ma’ruf Amin meski kini menjabat ketua DPD Golkar.  Tapi cuti untuk berkampanye akan diajukan kembali saat jadwal kampanye terbuka dimulai. “Cuti mungkin saat kampanye terbuka antara Maret sampai awal April. Pokoknya selama sebagai pimpinan daerah, kita tahu tugas pokok dan fungsi pimpinan daerah. Saat kampanye saya sebagai ketua partai politik, harus cuti,” tukasnya.

Jabatan politis

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menyebut kepala daerah tak bisa lepas dari pejabat publik dan sekaligus kader partai.  “Esensinya mereka ini makhluk politik, jadi sah saja mengatakan dukungan politiknya. Kalau dibilang tak etis, ya susah juga,” ujar Aditya Perdana kepada BBC News Indonesia, Kamis (21/02). “Apalagi sampai ada yang bilang kepala daerah yang berkampanye harus meninggalkan segala atributnya. Tapi sebagai kepala daerah, hak itu kan melekat,” sambungnya.

Kata Aditya, pengawasan yang ketat oleh Bawaslu, semestinya bisa menjadi rambu-rambu bagi kepala daerah agar tetap netral dalam bekerja. Gencarnya pernyataan dukungan kepala daerah kepada masing-masing capres, menurutnya, sangat menguntungkan bagi capres. Sebab mobilisasi dukungan pemilihnya saat pilkada lalu kemungkinan besar akan menambah jumlah suara mereka.

Berdasarkan Undang-undang Pemilu, pelanggar aturan kampanye terancam hukuman penjara maksimal dua tahun dan denda Rp24 juta. Dalam masa kampanye ini, baru seorang kepala desa yang dijatuhi hukuman, kepala desa Sampang Agung, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, dengan vonis dua bulan penjara karena berkampanye untuk capres Prabowo Subianto.

Sumber: BBC News Indonesia