Penolakan Terhadap UU Cipta Kerja Menggema Sampai ke Perbatasan Indonesia-Malaysia

Ketua DPRD Nunukan Hj. Rahma Leppa dan tiga anggota DPRD menerima kedatangan mahasiswa dalam aksi tolak UU Cipta Kerja. (foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Aksi demo penolakan Undang Undang Cipta Kerja menggema sampai ke perbatasan Indonesia – Malaysia, tepatnya  disuarakan gabungan himpunan mahasiswa Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara.

Mahasiswa menyampaikan aspirasinya  di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nunukan, Kamis (08/10).

Orasi-orasi penolakan silih berganti disampaikan mahasiswa yang secara khusus menyatakan sikap, menolak pengesahan UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR RI pada, Senin 5 Oktober 2020 lalu.

Perwakilan Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMII) Nunukan, Faisal mengatakan, UU Cipta Kerja sangat merugikan buruh.

Pasalnya waktu libur kerja yang sebelumnya 2 hari dalam sepekan (seminggu) menjadi 1 hari dalam sepekan.

“Buruh bukan robot, mereka manusia yang butuh waktu libur cukup. Wakil-wakil rakyat di DPR RI sudah mati, mereka tidak peka terhadap rakyatnya sendiri,” kata Faisal.

Menurut Faisal, sebagai perwakilan rakyat, sharusnya anggota DPR mengedepankan hati nurani dalam mengambil  keputusan yang menyangkut hak masyarakat.

Jangan karena kepentingan kelompok, lembawa eksekutif yang terhomat tidur terlelap dalam mimpi.

“Wahai wakil rakyat, apakah kalian semua sudah lupa saat sebelum duduk dikursi meminta restu dan dukungan rakyat. Kalian duduk disinggasana mewah gedung DPR bukan karena dukungan pengusaha ataupun pemilik perusahaan,” seru mahasiswa.

“Hidup mahasiswa, hidup buruh, penolakan kami harga mati, tunda dan batalkan UU Cipta Kerja,  lupakan bahwa UU ini sudah disahkan,” bebernya.

Mahasiswa: “Sebagian besar dari kami anak buruh, kami menolak UU Cipta Kerja.” (foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

Teriakan yang sama diucapkan perwakilan Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI).  Dewi dalam orasinya mengutuk keras sikap dan tingkah laku anggota DPR, rakyat sudah dibohongi oleh wakil – wakil mereka di parlemen legislatif.

“Anggota DPR kalau sidang kerjanya tidur mulu, parahnya lagi, sekali bangun malah menyusahkan rakyat Indonesia,” tuturnya.

Kehadirian mahasiswa ke DPRD Nunukan sebagai perwakilan dari buruh, kata mereka, untuk  memperjuangkan UU Cipta Kerja dicabut, karena dianggap kontroversial antara lain pekerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) upah, pesangon, hubungan kerja, mekanisme pemutusan hubungan kerja, penyelesaian perselisihan hubungan industrial serta jaminan sosial.

Menurut Dewi, pengesahan  UU Cipta Kerja  oleh DPR membuktikan bahwa mereka tidak perduli akan nasib buruh dan rakyat, padahal UU ini telah berulang kali mendapat penolalan rakyat.

“Waktu pemilihan mereka rela becek-becek di jalan rusak ketemu rakyat minta dukungan suara, giliran sudah terpilih dilupakan rakyatnya,” ujar Dewi.

Sebagaian dari mahasiwa adalah anak-anak buruh, mereka bersekolah dari penghasilan orangnya yang tidak seberapa, ditambah lagi kondisi pandemi harus beli masker dan pencuci tangan hand sanitizer dan bayar potongan BPJS.

“Buruh dapat BPJS, sekali berobat ke rumah sakit obatnya kosong, disarankan beli di apotik ratusan ribu, habislah uang mereka,” ucapnya.

Kehadiran kelompok mahasiswa di gedung DPRD Nunukan dikawal ketat anggota pengamanan dari TNI – Polri dan Satpol PP.

Pasukan anti huru-hara dan kendaraan water canon diturunkan untuk mengantisifasi terjadinya aksi anarkis.

Sementara itu, Ketua DPRD Nunukan Hj, Rahma Leppa bersama tiga anggota DPRD Nunukan lainnya yaitu, Gat Kalep, H. Saleh dan Zainuddin, memberikan waktu diskusi kepada mahasiswa menyampaikan aspirasinya.

“Saya baru tahu ada UU Cipta Kerja. DPRD provinsi dan kabupaten/kota tidak memiliki wewenang menolak UU ini, tapi kami bersedia nemampung dan menyampaikan aspirasi mahasiswa,” tuturnya. (002).

Tag: