Perempuan Berharta Peserta Pilkada 2020

ilustrasi

TREND keberminatan perempuan dalam calon kepala daerah (cakada) berdasarkan persentase terus meningkat. Jika pada tahun 2015, 7% peserta cakada perempuan, maka pada tahun 2020 kepesertaan cakada perempuan meningkat menjadi 11%.

Secara nominal, sebanyak 45 perempuan terlibat dalam pilkada 2017 yang meningkat menjadi 101 pada tahun 2018. Pada tahun 2020 ini, 161 peserta pilkada perempuan bertarung memperebutkan kursi  kepala dan wakil kepala daerah.

Lima perempuan berebut kursi Gubernur dan wakil gubernur, 129 memperebutkan kursi bupati dan wakil bupati, sementara 27 perempuan bersiap mengisi posisi walikota dan wakil walikota.

Demikian ditulis Aida Ratna Zulaiha, Ranika Permata dan Safrina, pegawai di Komisi Pemberantasan Korupsi dalam artikelnya yang sudah ditayang diwebsite resmik kpk.go.id.

Namun demikian,  ungkap penulis, kenaikan persentase keikutsertaan cakada perempuan dalam perebutan kursi kepala daerah rupanya tidak selalu sejalan dengan kenaikan jumlah kemenangan perempuan pada tiga penyelenggaraan pilkada terakhir.

Pada Tahun 2015, 47 atau 39% dari total 121 cakada perempuan memenangkan kursi kepala daerah. Namun persentase tersebut menurun menjadi 29% pada Tahun 2017 atau hanya 13 cakada perempuan yang menang dari total 45 cakada perempuan yang bersaing.

Sumber KPK

Persentase kemanangan cakada perempuan kembali naik pada Tahun 2018 menjadi 31% dari total 101 Cakada Perempuan yang mengikuti Pilkada.

Pada tahun 2020 ini kita tunggu apakah peningkatan persentase peserta pilkada perempuan sejalan dengan meningkatnya persentase kemenangan atau tidak.

Persentase kemenangan yang sebenarnya tidak terlalu tinggi ternyata tidak menyurutkan langkah para perempuan ini.

Apa sebenarnya penyebab kepercayaan diri perempuan semakin meningkat dalam mencalonkan diri sebagai peserta pilkada?

Apakah harta kekayaan merupakan salah satu unsur yang berpengaruh, mengingat berdasarkan hasil penelitian, pilkada membutuhkan biaya yang tidak bisa dibilang sedikit?

Data LHKPN cakada akan memberikan gambaran seberapa besar kemampuan keuangan pribadi cakada perempuan.

Sejumlah 1.476 peserta pilkada Tahun 2020, termasuk di dalamnya 161 peserta pilkada perempuan yang memperebutkan kursi kepala daerah di 9 provinsi dan 261 kabupaten/kota telah memenuhi kewajibannya menyampaikan LHKPN atas laporan harta kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menariknya, berdasarkan laporan yang disampaikan, rata-rata harta kekayaan cakada perempuan 22% lebih tinggi dibanding harta  cakada laki-laki, dengan nilai harta kekayaan rata-rata mencapai Rp. 12,73 miliar.

Harta tertinggi Rp73,74 miliar tercatat atas nama Suprianti Rambat, Calon Bupati Kotawaringin Timur, sementara harta terendah Rp15 juta tercatat atas nama Yufinia Mote, Calon Bupati Nabire.

Disparitas harta peserta pilkada perempuan lebih sempit dibanding harta peserta pilkada laki-laki yang mencatat nilai harta tertinggi Rp. 674,23 miliar dan terendah Rp (minus) 3,55 miliar.

Kekayaan cakada perempuan tidak lepas dari latar belakang profesi yang digeluti mereka selama ini.

“Terdapat 23 cakada perempuan yang memiliki harta kekayaan di atas Rp 25 miliar, dimana 70 persennya berlatar belakang pengusaha/swasta,” ungkap ketiga penulis.

Jabatan kepala daerah ternyata menarik minat para pengusaha perempuan yang notebene memiliki uang cukup untuk bersaing dalam memperebutkan kursi kepala daerah.

Selain pengusaha, harta kekayaan di atas Rp 25 miliar juga dimiliki oleh 5 cakada petahana dan 2 cakada yang berasal dari legislatif.

Tercatat, dari seluruh cakada perempuan, 30 orang diantaranya adalah petahana dan 26 dari unsur legislative, sementara  88 cakada berasal dari pengusaha/swasta.

Bahkan di Sulawesi Utara, 2 cakada perempuan yang sebelumnya menjabat sebagai bupati di Sulawesi Utara bersaing bersama petahana gubernur memperebutkan kursi nomor satu di Sulawesi Utara pada pilkada 2020 ini.

Apakah total harta kekayaan yang dimiliki para cakada perempuan mencerminkan kemampuan pendanaan pilkada mereka?

Bisa jadi tidak, karena total harta yang dilaporkan kepada KPK melalui LHKPN terdiri dari harta tidak bergerak, alat transportasi, harta bergerak lainnya, surat berharga, harta kas dan setara kas, dan harta lainnya yang dikurangi dengan hutang mereka.

Harta kas mungkin lebih tepat menggambarkan tingkat kemampuan keuangan cakada dalam membiayai pilkada, termasuk cakada perempuan.

Sumber: KPK

Seiring dengan total harta kekayaan, rata-rata harta kas cakada perempuan mencapai Rp1,37 Miliar, sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata harta kas cakada laki-laki yang sebesar Rp1,36 Miliar .

Komponen lain yang mungkin berpengaruh adalah hutang. Berdasarkan hasil penelitian KPK pada Pilkada 2015,2017 dan 2018 mengkonfirmasi bahwa biaya pilkada tidak hanya dikeluarkan pada saat kampanye, tetapi jauh hari sebelumnya sudah ada biaya yang dikeluarkan oleh para bakal calon dalam bentuk mahar kepada partai pendukung maupun  biaya konsolidasi tim pemenangan.

Bisa  benar namun bisa juga salah para bakal calon ini membiayai pengeluaran tersebut dari hutang yang dicatatkan di LHKPN mereka. Dari 161 cakada perempuan, sebenarnya hanya 34%nya memiliki hutang dengan nilai hutang tertinggi Rp11,8 miliar.

Bandingkan dengan 1.315 cakada laki-laki, di mana tercatat 40,3%nya memiliki hutang dengan nilai rata-rata hutang tertinggi Rp75,5 miliar.

Ternyata tidak terbukti Cakada perempuan memiliki keberanian lebih tinggi dalam memutuskan berhutang, dibanding cakada laki-laki.

NIlai harta kas dan keterbatasan dalam berhutang tersebut ternyata tetap memberikan kepercayaan diri kepada para cakada perempuan untuk maju dan bersaing dalam pertarungan memperebutkan kursi kepala daerah.

Tapi apakah harta kas dan hutang tersebut cukup untuk membiayai pilkada mereka di tahun 2020 hingga selesai?

Mungkin perlu dilakukan survey nanti di akhir perhelatan pesta demokrasi ini mengenai biaya actual yang dikeluarkan para cakada dalam Pilkada.

Namun hasil penelitian dan survey terdahulu banyak menyebutkan bahwa biaya pilkada untuk bupati/walikota saja bisa berkisar Rp 20-30 miliar, sedangkan gubernur berkisar Rp20-100 miliar.@

Tag: