Polisi Tangkap Tangan Penimbun Solar Subsidi di Bontang

Bahan bakar solar subsidi yang disita kepolisian, Sabtu 3 September 2022 (handout/Polres Bontang)

BONTANG.NIAGA.ASIA — Polisi memergoki aktivitas penimbunan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar subsidi di kota Bontang Sabtu malam. Hampir satu ton solar disita sebagai barang bukti. Seorang warga berinisial M, 54 tahun, ditetapkan tersangka.

Kasus itu terbongkar setelah warga menginformasikan ke polisi tentang dugaan penimbunan solar subsidi di salah satu toko Jalan Pupuk Raya, Loktuan, Jumat malam.

Sehari kemudian, Sabtu malam, tim tindak pidana tertentu satuan reserse kriminal Polres Bontang melakukan penyelidikan. Terduga penimbun, M, 54 tahun, tertangkap tangan kepolisian sedang memindahkan BBM dari tanki mobil L-300 setelah antre membeli di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di kilometer 3.

“BBM itu disimpan di toko dan akan dijual kembali,” kata Ajun Komisaris Besar Polisi Yusep Dwi Prastiya, kepala Polres Bontang, melalui siaran pers kepada wartawan di kantornya Senin

BBM sebanyak 35 liter solar itu dipindahkan dari tanki mobil L-300 ke drum berkapasitas 200 liter menggunakan mesin pompa lengkap dengan selang.

Dari penyelidikan dan penyidikan polisi terungkap BBM solar subsidi itu dibeli di SPBU seharga Rp 6.800 per liter menggunakan kartu kendali BBM solar subsidi (Fuel Card).

“Dengan kartu itu hanya bisa membeli solar satu kali dalam sehari sesuai jenis kendaraan,” kata Yusep Dwi Prastiya.

Masih dari penyelidikan polisi, BBM yang disimpan di drum itu dijual kembali ke pedagang atau nelayan seharga Rp 9.000 dan Rp 10.000 ke pemilik kendaraan.

“Aktivitas itu sudah berlangsung satu tahun terakhir terlapor (pelaku M) tidak memiliki izin niaga dari pemerintah,” Yusep Dwi Prastiya menambahkan.

Sederetan barang bukti diamankan kepolisian selain mobil pikap, antara lain juga jeriken, drum, alkon, dan tiga kartu kartu kendali BBM (fuel card) beserta sekitat 800 liter solar subsidi.

Terduga pelaku M ditetapkan tersangka. Penyidik menjeratnya dengan pasal 55 Undang-undang Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana diubah dengan pasal 40 angka 9 Undang-undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja.

“Ancaman paling lama 6 tahun penjara dan denda paling tinggi Rp 60 miliar,” demikian Yusep Dwi Prastiya.

Penulis : Saud Rosadi | Editor : Saud Rosadi

Tag: