Potret Bisnis Kapal Tambangan Tak Lagi Secerah Dulu

aa
Baharuddin motoris tambangan di Samarinda (foto : Niaga Asia)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA- Kapal tambangan. Begitu warga Samarinda menamakan moda transportasi yang terbuat dari kayu ulin, menyeberangkan penumpang dari Samarinda kota ke Samarinda Seberang, membelah Sungai Mahakam. Keberadaannya kini kian terhimpit zaman.

Siang itu menunjukkan pukul 11.31 Wita. Setengah jam lagi, matahari ada di atas kepala. Baharuddin, lelaki usia senja terlihat mengemudikan tambangan, mengarah ke dermaga Mahakam Ilir, di kawasan Jalan Gadjah Mada Samarinda. Tidak ada penumpang di tambangan Baharuddin.

Tiba di dermaga, Baharuddin keluar dari tambangan, dan mengikat tali kapal ke dermaga agar tidak hanyut terbawa arus sungai. Ada tambangan lain yang ditambat ke dermaga, bersebelahan dengan tambangan Baharuddin. Sesekali, Baharuddin yang punya lima anak itu, menyeka keringatnya. Meski begitu, nyaris tidak terlihat kelelahan di wajahnya, usai mengemudikan kapal yang sudah dia lakoni lebih 40 tahun itu.

Baharuddin jadi orang yang dituakan di kalangan sesama motoris tambangan. Keramahan dan kegigihannya mengais rezeki setiap hari pulang pergi menyeberangi Sungai Mahakam, membuat motoris lainnya angkat topi dengannya.

Niaga Asia menyambangi Baharuddin di dalam tambangannya. Hawa udara pengap begitu terasa saat itu. Dia terlihat sedang menyilakan kedua kakinya, mencoba melepas lelah. Dia pun begitu ramah, menyambut dengan jabatan tangannya, meski sedikit diwarnai kehitaman bekas oli dan minyak solar. Bahkan, ada luka kecil terselip di tangannya.”Iya, kadang penumpang ramai, kadang tidak ramai. Alhamdulillah,” kata Baharuddin, mengawali perbincangan bersama Niaga Asia, di atas tambangannya belum lama ini.

aa
Perahu tambangan lebih banyak ditambat di dermaga Pasar Pagi. (Foto Niaga.Asia)

Hampir 6 jam dari pukul 06.00 Wita pagi, Baharuddin memang baru 2 kali menyeberang ke dermaga Samarinda Seberang. Kembalinya ke dermaga Mahakam Ilir, tidak ada penumpang yang dia bawa. “Ini sampai mau tengah hari, baru dapat Rp 40 ribu,” ujar Baharuddin.

Tentu saja, biaya operasional yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pemasukannya. Urusan bahan bakar solar, dia menghabiskan Rp 35 ribu. Berikutnya, urusan perut di siang hari, dia perlu Rp 15 ribu. Meski, terkadang dia tidak makan. “Karena ini bukan tambangan saya, saya setoran ke pemilik kapal per hari Rp 40 ribu,” sebutnya lirih.

Masyarakat pengguna jasa tambangan, dibanding tahun 1970-1980-an, memang jauh menurun drastis seiring zaman. Kehadiran speedboat, jembatan yang membelah Sungai Mahakam, dan moda transportasi lain untuk membawa penumpang, membuat tambangan perlahan kian terpinggirkan. Kini, hanya tersisa 50-60 tambangan, dibanding dahulu, ada sekitar 200-300 tambangan.

“Tahun 1980-an, masyarakat cuma pakai tambangan ke Samarinda Seberang. Ramainya dulu, saya cuma bisa istrirahat waktu makan siang, dan salat Dzuhur dan Ashar. Dulu, saya paling banyak dapat Rp 50 ribu sudah luar biasa,” kenang Baharuddin.

Bahkan, agar tambangan yang punya histori erat dengan sarana transportasi di Samarinda itu terus bertahan, tarif pun sudah diatur relatif rendah. “Sekarang, sekali jalan nyeberang sungai, maksimal 1 kapal isi 16 orang. Tapi itu sudah tidak mungkin. Paling banyak 8 orang. Kalau 8 orang, tiap orang bayar Rp 5 ribu. Sekarang 2-3 orang dari karyawan swasta dan masyarakat yang akan belanja ke pasar pun saya antar menyeberang sungai,” terangnya lagi.

Namun sayang, kelima anaknya, tidak ada yang meneruskan pekerjaannya sebagai motoris tambangan, menjaga eksistensi tambangan. Meski begitu, Baharuddin berharap tambangan tidak akan pernah punah dikemudian waktu.”Saya memang di usia segini, sebaiknya di rumah. Tapi kalau saya tidak bergerak, badan saya sakit-sakit. Apapun itu, biar sedikit (pemasukan), saya syukuri. Cuma yang saya harap kepada pemerintah, tengok-tengok lah kami ini,” ungkap Baharuddin mengakhiri perbincangan, seraya matanya berkaca-kaca.

Setiap harinya, tambangan yang menyeberang dari dan ke dermaga Mahakam Ilir, menjadi pemandangan yang kontras dengan hiruk pikuk pelayaran tongkang bermuatan batubara di Sungai Mahakam. Bahkan, kapal minyak pun ikut lalu lalang, sebagai bagian dari potret Sungai Mahakam yang membelah kota Samarinda. (006)