Sudah Makan Singkong Sebaskom, Baru Kenyang Setelah Makan Nasi

aa
Gubernur Kaltim, Dr. Ir. H Isran Noor, M.Sc, Ketua Umum Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Indonesia, Wimboh Santoso, SE, M.Sc, Ph.D, dan H Hadi Mulyadi, SI, M.Si, Ketua Pengurus Wilayah MES Kaltim, serta H Rahmad Mas’ud, Ketua Pengurus Daerah MES Balikpapan. (Foto Intoniswan)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Urusan beras, impor beras, dan nasi, serta lahan pertanian, jadi bagian dari topik bahasan Gubernur Kaltim, Dr. Ir. H Isran Noor, M.Sc dan Ketua Umum Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah(MEI)  Indonesia, Wimboh Santoso, SE, M.Sc, Ph.D dalam pidato keduanya di acara pengukuhan dan pelantikan H Hadi Mulyadi, SI, M.Si sebagai Ketua Pengurus Wilayah MES Kaltim dan H Rahmad Mas’ud sebagai Ketua Pengurus Daerah MES Kota Balikpapan di Samarinda, Kamis (31/1).

Isran Noor yang latar belakang sarjananya adalah pertanian Unmul membuka persoalan impor beras dengan ungkapan memperihatinkan sebab sangat banyak dana yang harus disediakan untuk mengimpor 1-2 juta ton beras, sebaliknya Indonesia sendiri punya lahan yang begitu luas. “Impor apa saja menguras dana, tapi untuk urusan impor beras juga posisi pemerintah juga serba salah,” katanya.

Menjadi serba salah, lanjut gubernur, Indonesia dengaan jumlah penduduk sudah mendekati angka 260 juta jiwa, maunya terus-terusan makan nasi, tidak ada diversifikasi pangan. “Orang kampung saya, Kutai, biar sudah makan singkong sebaskom, tetap tidak kenyang-kenyang. Mereka baru merasa kenyang setelah makan nasi,” ungkap Isran disambut senyuman para undangan yang hadir di acara tersebut. “Meman g susah untuk mengurangi makan nasi,” sambungnya.

Menurut Isran, kalau beras tidak diimpor dan stok beras dalam negeri pas-pasan, harga beras gampang sekali naik, kalau harga beras naik itu juga jadi masalah besar, bisa lebih besar dari masalah impornya sendiri. “Kita tidak bisa terus-terusan bicara tentang impor beras, karena lebih penting dari itu adalah memikirkan ke depan Indonesia swasembada,” kata gubernur.

Isran mengatakan, meski Kaltim wilayah luas, tapi untuk membangun sektor pertanian kan diperlukan juga dana yang tidak sedikit dan berkelanjutan. Persoalannya sekarang keuangan daerah tidaklah bagus, begitu pula dengan pembagian keuangan antara pusat dan daerah.

“Kita Kaltim setahun menyumbang ke Pusat (nasional) Rp500 triliun, tapi yang kembali ke Kaltim (Pemerintah Daerah/Provinsi/Kabupaten/Kota) hanya sekitar Rp26 triliun per tahun, atau hanya berkisar 5%,” katanya. Selain itu itu, investasi BUMN di Kaltim juga kecil untuk membangun ekonomi kerakyatan maupun industri hilir.

“Tidak tersedianya dana atau tidak masuknya investasi swasta untuk industri hilir, membuat apa yang dihasilkan Kaltim diolah di luar Kaltim. Kaltim tak mendapat nilai tambah jadinya, baik itu lapangan kerja baru, maupun  pajak daerah,” kata Isran.

Sawah menyusut

Ketua Umum Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah(MEI)  Indonesia, Wimboh Santoso, SE, M.Sc, Ph.D  yang menyampaikan pidato setelah gubernur, juga menyinggung soal beras impor. Soal beras bisa menjadi masalah besar sebab, fakta di lapangan menunjukkan luas sawah menyut sedangkan jumlah orang yang akan makan nasi terus bertambah. “Kita ini termasuk bangsa pemakan beras besar, sebab penduduk Indonesia sudah 260 jutaan jiwa,” kata Wimboh.

aa
Gubernur Kaltim, Dr. Ir. H Isran Noor, M.Sc dan Ketua Umum Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Indonesia, Wimboh Santoso, SE, M.Sc, Ph.D, bersama H Hadi Mulyadi, SI, M.Si, Ketua dan Pengurus Wilayah MES Kaltim Periode 2019-2022 (Foto Intoniswan)

Menurutnya, sawah menyusut karena jumlah penduduk bertambah, lahan sawah kemudian berubah jadi kawasan perumahan, sawah juga berubah jadi kawasan industri, sawah jadi kawasan  perdagangan dan perkantoran. “Kondisi seperti itu saya rasa bisa dilihat hampir di semua daerah,” ujarnya.

Untuk membangun sektor pertanian juga perlu dana. Dana yang bisa digunakan tiap tahunnya juga sangat terbatas. Pilihannya hanya dua. Pertama; membangun dengan menerbitkan surat utang (atau meminjam), atau kedua; nabung dulu baru hingga dalam jumlah yang cukup baru membangun. “Tapi kalau melihat keuangan negara, negara tak pernah sempat menabung. Berapa pendapatan segitu juga belanja setiap tahunnya. Jadi sebetulnya membangun dengan menerbitkan surat utang, sebetulnya tidak masalah,” kata Wimboh. (001)