Mengintip Sepak Terjang Khairuddin Disamping Rita Widyasari

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Tidak ada tim atau sekumpulan orang di Kalimantan Timur (Kaltim) seterkenal Tim 11 yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Tim 11 awalnya adalah sekumpulan anak muda yang berada di belakang Rita Widyasari yang maju dalam pemilihan bupati Kukar tahun 2010, atau semacam tim sukses.

Tim sukses yang diketuai Khairuddin  itu namanya bermetamorfase menjadi Tim 11 setelah Rita menang di Pilkada 2011. Meski namanya Tim 11, tapi jumlah orang yang tergabung dalam tim tersebut bukan 11, tapi 12.

Nama-nama yang tergabung dalam Tim 11 itu, menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fitroh Rohcahyanto adalah, Khairuddin, Junaidi, Abrianto Amin, Muhammad Husni Ayub, Andi Sabrin,  Syarkowi V Zahrie, Dedy Sudarya, Rusdiansyah, A  Rizani, Abdul Rasyid, Erwinsyah, dan Fajri Tridalaksana.

Peran Tim 11 mulai terurai setelah sidang dugaan korupsi Bupati Kutai Kartanegara nonaktif Rita Widyasari dan Khairuddin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memasuki  agenda pemeriksaan saksi-sasi.

Rita menjadi terdakwa atas kasus gratifikasi sehubungan dengan sejumlah perizinan dan proyek-proyek di lingkungan Pemkab Kukar.  Dalam sidang perdana, 21 Pebruari 2018, JPU  mendakwa Rita dan Komisaris PT Media Bangun Bersama, Khairudin menerima gratifikasi sebesar Rp 469.465.440.000.

Nama Abrianto Amin Disebut Saksi dalam Sidang Tipikor Rita

Proyek Bina Marga Kukar Dipalak 11,5% di Era Bupati Rita Widyasari

Uang tersebut diduga diterima dalam bentuk fee proyek, fee perizinan, dan fee pengadaan lelang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selama Rita menjabat bupati. Selain itu Rita juga disebut  menerima hadiah berupa uang sebesar Rp 6 miliar. Uang itu diberikan oleh Direktur Utama PT Sawit Golden Prima Hery Susanto Gun alias Abun, sebagai imbalan sehubungan pemberian izin lokasi perkebunan kepala sawit di Desa Kupang Baru, Muara Kaman.

Dalam sidang yang menghadirkan  saksi dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kutai Kartanegara, yakni ‎Aji Said, Kasie Bagian Dampak Lingkungan dan Rahyul, Kasie Penanganan Sampah, diketahui Tim 11, Khairuddin yang juga terdakwa  memungut sejumlah uang dari  para pemohon terkait penerbitan SKKL dan Izin Lingkungan pada Badan Lingkungan Hidup Daerah, atau dari  pemohon terkait penerbitan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Ada pula penerimaan secara bertahap dari pihak swasta terkait proyek pembangunan RSUD Parikesit, proyek pembangunan jalan Tabang tahap III Baru Kabupaten Kutai Kartanegara, Proyek pembangunan SMA Negeri Unggulan 3 Tenggarong, Proyek lanjutan Seminisasi Kota Bangun-Liang Ilir.

Proyek Kembang Janggut Kelekat Kabupaten Tenggarong, Proyek Irigasi Jonggon kutai Kartanegara dan Proyek Pembangunan Royal Word Plaza Tenggarong yang jumlahnya bervariasi ratusan hingga miliaran rupiah.

Selain penerimaan itu, Khairudin menerima uang atas penjualan perusahaan PT Gerak Kesatuan Bersama yang diberikan izin pertambangan seluas 2.000 Ha oleh Rita, seluruhnya sebesar Rp 18.900.000.000 dari Juanda Lesmana Lauw padahal modal perusahaan tersebut hanya sebesar Rp 250.000.000.

Uang tersebut diterima secara bertahap sejak tahun 2010 sampai dengan 2011 yang ditranfer ke rekening Bank Mandiri KCP Tenggarong atas Khairudin, sebesar Rp 14.400.000.000 dari rekening PT Tanjung Prima Mining dan Rp 4.500.000.000‎ rekening PT Hanu Mitra Papua Industri. “Bahwa terdakwa I (Rita) ‎menerima uang seluruhnya sebesar Rp 469 miliar tidak melaporkan ke KPK sampai dengan batas waktu 30 hari,” imbuh jaksa.

Seorang mantan pegawai perusahaan konstruksi PT Citra Gading Asritama (CGA) Marsuji saat bersaksi di Pengadilan Tipikor jua mengaku pernah menyiapkan uang untuk Khairuddin. Marsuji mengaku sempat menyiapkan uang sebesar Rp1 miliar atas perintah Direktur Utama PT CGA Ichsan Suaidi. “Kepada Pak Khairudin pernah (memberi). Seingat saya Rp1 miliar. Uangnya cash pak,” kata Marsuji di depan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (3/4).

Secara detail, Marsuji mengaku menyiapkan uang sekitar satu hingga dua hari sebelum penyerahan. Dia bilang dikirimkan uang dari kantor Pusat CGA. Marsuji pun mencairkan uang itu. “Setelahnya saya taruh brankas. Saya lupa saya taruh di kardus atau di kresek,” ujarnya.

Selanjutnya, uang itu disiapkan bagi Khoirudin yang sedang bertemu dengan Ichsan. Marsuji mengaku tak mendengar pembicaraan keduanya karena posisi berbeda ruangan.”Saya dipanggil Pak Ihsan suruh kasih tapi enggak langsung saya kasih, tapi ditaruh di mobil Pak Khoi,” ungkap dia.

Selain itu, Marsuji juga pernah memberikan uang kira-kira dua kali secara langsung ke rumah Khoirudin. Jumlahnya sekitar Rp200 dan Rp500 juta. Ia juga pernah memberikan sebuah ransel hitam yang berisikan uang yang lagi-lagi ke mobil Khoirudin. “Pernah sekali di parkiran Hotel Le Grander satu ransel tas. Kata Pak Ika dollar US, tapi saya enggak lihat fisiknya,” ujarnya.

Marsuji mengatakan uang itu biasanya diberi kepada pemberi proyek sebagai uang material pusat (marpus). Marsuji sendiri mengaku tidak paham kenapa uang tersebut diberikan kepada Khoirudin. “Saya tidak tahu persis saya hanya berdasarkan perintah Pak Ichsan. Info dari Pak Ichsan, Pak Khoi ini istilahnya timnya Bu Rita,” ujarnya.

Atas perbuatannya itu, Rita dan Khairudin didakwa melanggar Pasal 12 huruf B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal ‎55 ayat 1 ke 1 KUHPidana Juncto Pasal 65 ayat 1 KUHPidana. (intoniswan, berbagai sumber)