Peneliti Minta Aparat Tindak Tegas Pemburu Satwa Dilindungi

Orangutan termasuk satwa dilindungi yang nyaris diburu untuk dibunuh setiap hari karena alasan merusak tanaman kelapa sawit di Kalimantan. (Foro Istimewa)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA -Dalam upaya menjaga ekosistem alam tidak rusak, terutama ancaman kepunahan satwa yang dilindungi, Peneliti Satwa pada Balai Penerapan Standar Instrumen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Samboja, minta aparat menindak tegas pelaku perburuan satwa liar yang dilindungi undang-undang.

Menurut Tri Atmoko, peneliti satwa di Balai Penerapan Standar Instrumen KLHK Samboja, penindakan hukum terhadap perburuan satwa dilindungi perlu tegas karena ada beberapa satwa di alam liar endemik Kalimantan yang sekarang sangat langka atau mendekati kepunahan, seperti orang utan, bekantan, dan burung enggang.

“Penindakan tegas perlu dilakukan untuk mencipta efek jera bagi lainnya, sehingga diharapkan tidak ada lagi orang yang melakukan perburuan terhadap satwa di alam liar,” kata Tri Atmoko pada Niaga.Asia, Minggu (27/2/2022).

baca juga:

Puluhan Ribu Orangutan dan Bekantan Terancam Punah

Pemerintah, katanya, dalam upaya menekan angka perburuan satwa dilindungi di Indonesia, telah mengeluarkan aturan berupa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.

Orangutan yang nyasar  masuk  Desa Lusan di Muara Komam, Senin (7/6/2022), diduga karena kelaparan dan habitannya sudah beralih fungsi atau rusa. (Foto : tangkapan layar)

Aturan lainnya adalah dari kementerian terkait, yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor P106 tahun 2018 tentang Tumbuhan dan Satwa Liar.

Untuk menjerat pelaku perdagangan satwa liar yang dilindungi, diatur di Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 40 ayat (2) UU Nomor 5 /1990 yang masing ayat tersebut saling berkaitan.

Pada Pasal 21 ayat (2) huruf a dan b disebutkan, setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup maupun mati.

Kemudian pada Pasal 40 ayat (2) disebutkan, barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.

“Kalau banyak pelaku pelanggar hukum mendapat sanksi maksimal, tentu dampaknya banyak pelaku yang jera sehingga satwa dilindungi tidak terancam punah seperti sekarang, contoh burung rangkong atau burung enggang, spesies enggang gading,” katanya.

Ia melanjutkan, burung rangkong yang juga dikenal burung paruh besar, di Indonesia ada 13 spesies, 8 spesies diantaranya ada di Pulau Kalimantan. Burung-burung tersebut banyak yang diburu kemudian paruhnya diperdagangkan secara ilegal.

“Pelaku perburuan burung paruh besar ini sudah banyak yang tertangkap, bahkan ada ribuan cula enggang yang disita. Saya juga minta warga menghentikan perburuan karena enggang termasuk burung sakral bagi warga Kalimantan karena kerap dijadikan simbol,” katanya. (gh)