Tanggapi dr Dulman, dr Rahma: ”Saya Tak Punya SIP Lagi di RSUD Nunukan” 

Ruang pelayanan Hemodialisa RSUD Nunukan kini tanpa dokter penanggung jawab. (Foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Dokter spesialis penyakit dalam dr Rahma membantah menolak melaksanakan tugas memberikan layanan medis kepada pasien gagal ginjal yang memerlukan pelayanan cuci darah atau hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).

Rahma menjelaskan, sejak dimutasi ke rumah sakit pratama Sebatik, dia tak punya lagi Surat Izin Praktek (SIP) di RSUD Nunukan.

“SIP saya  telah ditarik untuk keperluan tugas di tempat baru di RS Pratama Sebatik. Dengan demikian keseluruhan tugas di tempat lama(RSUD Nunukan)  telah hilang,” kata Rahma pada Niaga.Asia, Minggu (15/05/2022), menanggapi  keterangan Direktur RSUD Nunukan, dr. Dulman sebagaimana dilansir Niaga.Asia, hari ini.

baca juga: 

Dulman Benarkan RSUD Nunukan Tak Bisa Layani Pasien Baru Cuci Darah 

Menurut Rahma, bersamaan mutasi  dirinya, tanggung jawabnya sebagai dokter spesialis penyakit dalam  bersertifikat hemodialisa untuk supervisi penanganan cuci darah,  diambil alih dr Dulman selaku direktur RSUD Nunukan.

“Saya tidak bisa menerima pasien baru, makanya saya sarankan pasien gagal ginjal  yang memerlukan cuci darah dirujuk ke RSUD Tarakan,” jelasnya.

baca juga: 

Dulman : Pelayanan Cuci Darah RSUD Nunukan Tetap Normal

Sudah Bertemu Kadis Kesehatan

Rahma membenarkan pernah bertemu kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Nunukan, membahas permintaan tugas paruh waktu membantu penanganan ruang cuci darah RSUD Nunukan. Dari pertemuan itu Kadis Kesehatan menerbitkan surat perintah tugas Nomor : 416 – Dinkes P2KB/800/III/2022, tanggal 22 Maret 2022. Isi surat itu menugaskan dirinya bekerja di RSUD Nunukan 3 hari dalam seminggu, yakni tiap hari Kamis, Jum’at dan Sabtu.

“Kalau saya jalankan penugasan Dinkes Nunukan itu, saya melakukan kesalahan karena hanya 3 hari dalam satu minggu berada di RSUD Nunukan, padahal penanganan praktek cuci darah berbeda dengan pelayanan lainnya,” katanya.

Rahma menjelaskan, dokter  bersertifikat cuci darah dan perawat bersertifikat mahir HD yang melayani dan penanggung jawab ruang cuci darah  harus full berada  dalam satu lokasi yang wajar. Dari itu, ia mengaku sempat mempertanyakan kepada Dinkes Nunukan, siapa yang bertanggung jawab atas ruang cuci darah di luar jam kerjanya.

“Saya rapat bersama kepala Dinkes dan IDI, saya tidak minta SK Bupati dirumah, saya cuma minta surat tugas berlaku full di RSUD Nunukan,” tuturnya.

Tugas paruh waktu 3 hari di RSUD Nunukan bertentangan dengan aturan Himpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) dan penyelenggaraan sistem pelayanan Hemodialisa tidak diatur sesuai keinginan pemerintah daerah setempat.

Tanpa perawat  bersertifikat mahir dan dokter bersertifikat HD, klaim pembayaran pasien Hemodialisa di RSUD tidak akan dibayarkan oleh BPJS karena secara administrasi tidak sesuai aturan.

“Coba tanya BPJS bisakah pasien Hemodialisa di RSUD dibayarkan klaim jika tidak memiliki dokter bertanggung jawab. Ini yang harus dipikirkan pemerintah,” tuturnya.

Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang menggunakan alat khusus dengan tujuan mengatasi gejala dan tanda akibat laju filtrasi glomerulus yang rendah, sehingga diharapkan dapat memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Unit hemodialisis adalah tempat pelayanan yang terdiri dari minimal 4 mesin dialisis, didukung dengan unit pemurnian air serta mempunyai tenaga medis, minimal terdiri dari 2 perawat mahir HD, 1 dokter bersertifikat HD, yang diawasi oleh 1 orang dokter internis bersertifikat HD serta disupervisi Internis Konsultan Ginjal Hipertensi.

“Satu saja dari unit itu tidak terpenuhi, maka pelayanan HD tidak layak dan harusnya ditutup,” jelasnya.

Rahma menyarankan Pemerintah Nunukan sebaiknya memikirkan langkah ke depan persiapan pengurusan izin pelayanan cuci darah. Pasalnya, tanpa rekomendasi Pernefri Pusat, praktek cucui darah di RSUD tidak layak.

Selaku ASN yang telah mengabdi 20 tahun, Rahma menyatakan, ingin menjalankan tugas sesuai arahan pimpinan, namun dilain sisi ada aturan yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pekerjaan sebagai dokter penanggung jawab cuci darah.

“Saya siap mengikuti perintah atasan, tapi saya juga harus patuh aturan kesehatan, kedua sisi harus berjalan beriringan agar tidak memunculkan masalah,” terangnya.

Persoalan cuci darah RSUD Nunukan telah sampai ke Pernefri Pusat. Atas permasalahan itu pula, rumah sakit Surabaya yang selama ini bekerjasama dengan RSUD Nunukan, dalam penanganan cuci darah tidak lagi memperpanjang kontrak kerja sama.

“Saya tidak takut berhenti PNS. Tanjung Selor, Balikpapan, Berau tawari saya kerja di sana, mereka siap terima saya, sertifikat saya diperlukan rumah sakit, tapi saya ingin mengabdi di Nunukan,” pungkasnya.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau

Tag: