Soal Tanah Yolana Sudimen, Zainal Aripin: Pemkot Samarinda Salahgunakan Kekuasaan

Tidak diganti rugi sejak tahun 1988, Yolana Sudimen kuasai lagi tanahnya di Tepian Mahakam. (Foto Intoniswan/Niaga.Asia)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Adanya Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 38 Tahun 2009  yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Samarinda atas nama Pemerintah Kota (Pemkot)  Samarinda di Tepian Mahakam seluas 40.122 m2, termasuk di dalamnya tanah Yolana Sudimen dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 16 Tahun 1972, dinilai Zainal Aripin, SH, kuasa hukum Yolana Sudimen, abuse of power.

“Pemkot Samarinda telah menyalahgunakan kekuasaan, merampas hak milik warga negara Indonesia secara sewenang-wenang,” kata Zainal Aripin kepada Niaga.Asia, Kamis (11/03/2021) menanggapi surat Wali Kota Samarinda, H Andi Harun tertanggal 4 Maret 2021.

Adanya Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 38 Tahun 2009 terungkap dalam surat  Wali Kota Samarinda, H Andi Harun tanggal 4 Maret 2021, menjawab somasi  Zainal Aripin, SH, kuasa hukum Yolana Sudimen yang disampaikan ke Pemkot Samarinda tanggal 11 November 2020.

berita terkait:

Yolana Sudimen Ambil Lagi Tanahnya di Tepian Mahakam

Dalam surat yang sama, wali kota Samarinda juga menyampaikan, Pemerintah Kota Samarinda tidak dapat memenuhi permintaan ganti rugi tanah Agus Sudimen.

“Terhadap klaim kepemilikan  tanah dan permintaan ganti rugi yang Saudara (Zainal Aripin) sampaikan, Saudara dapat melakukan langkah dan upaya hukum,” kata Andi Harun.

 Menurut Zainal Aripin, surat wali kota tersebut cacat hukum, karena menyebut tanah seluas 1.190 m2 itu tanahnya Agus Sudimen, padahal, sesuai sertifikat, tanah tersebut milik Yolana Sudimen.

“Sertifikat hak pengelolaan yang diterbitkan BPN di atas tanah Yolana Sudimen dengan bukti SHM yang belum dicabut, jelas cacat hukum,” ujarnya.

Kemudian, anjuran wali kota agar Yolana Sudimen menempuh jalur hukum untuk mendapatkan kembali tanah tersebut atau untuk mendapatkan ganti rugi, juga bentuk kesewenang-wenangan sebab, kata Zainal Aripin, tanah kliennya sudah dirampas dengan cara-cara melawan hukum.

“Pemerintah bisa merampas atau mengambil  sesuatu yang sudah menjadi hak milik warga negara, tapi melalui pengadilan, atau melalui proses musyawarah dan mufakat,” pungkasnya. (001)

Tag: